Refleksi Maulid: Halal Kaffah untuk Peradaban Global

Refleksi Maulid: Halal Kaffah untuk Peradaban Global

MAKLUMAT — Bulan Rabiul Awal selalu menjadi momen istimewa bagi umat Islam. Di bulan inilah lahir manusia agung, Nabi Muhammad Saw, yang membawa cahaya Islam dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Peringatan Maulid Nabi tidak sekadar seremoni atau tradisi, tetapi seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan nilai-nilai yang beliau ajarkan dan bagaimana pesan-pesan itu tetap relevan dalam kehidupan modern.

Salah satu nilai penting yang diwariskan Rasulullah adalah menjaga kehalalan. Halal bukan hanya perkara hukum, melainkan fondasi keberkahan hidup, penentu kualitas ibadah, dan kunci terkabulnya doa. Dalam era global yang kompleks, pemahaman halal perlu diperluas, ditegakkan secara kaffah, dan dijaga melalui kolaborasi multidisiplin.

Refleksi Maulid Nabi

Vritta Amroini Wahyudi
Vritta Amroini Wahyudi

Rasulullah Saw adalah teladan terbaik dalam menjaga kesucian hidup. Beliau selalu memilih makanan halal, menolak yang meragukan, serta mengajarkan prinsip kehati-hatian (wara’). Dalam sebuah hadits sahih, beliau menggambarkan seseorang yang berdoa dengan penuh semangat, mengangkat tangan tinggi-tinggi, tetapi makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya dari hasil yang haram. Maka Rasulullah bertanya, “Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR. Muslim).

Pesan ini mengajarkan bahwa halal adalah kunci terkabulnya doa. Jika ingin doa-doa kita sampai kepada Allah, maka kita harus memastikan setiap rezeki yang masuk ke tubuh bersih, halal, dan penuh keberkahan. Halal bukan sekadar label di kemasan produk, melainkan syarat diterimanya ibadah. Dengan menjaga halal, seorang Muslim tidak hanya menyehatkan fisiknya, tetapi juga membersihkan hati dan menguatkan ikatan spiritualnya dengan Allah. Refleksi Maulid Nabi karenanya mengingatkan kita untuk kembali ke akar ajaran Rasulullah: memuliakan hidup dengan kehalalan.

Baca Juga  Muhammadiyah, Teologi Al-Ma'un, dan Masyarakat Lingkar Tambang

Halal Secara Kaffah

Halal dalam Islam tidak dapat dipahami secara parsial. Konsep halal adalah kaffah, menyeluruh. Halal bukan hanya tentang jenis daging yang dikonsumsi, melainkan juga proses yang mengiringinya: penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, distribusi, hingga produk turunannya.

Di era modern, tantangan halal semakin kompleks. Produk makanan dan minuman sering menggunakan bahan tambahan dari berbagai sumber seperti enzim, gelatin, pewarna, hingga rekayasa bioteknologi. Produk farmasi, kosmetik, hingga makanan olahan pun tidak lepas dari risiko kontaminasi non-halal.

Menegakkan halal secara kaffah berarti menghadirkan sistem yang mampu mengawal kehalalan dari hulu hingga hilir. Mulai dari sumber bahan baku, proses produksi, distribusi global, hingga kepastian sertifikasi. Tidak cukup hanya mengandalkan tradisi atau klaim, tetapi harus didukung oleh mekanisme yang transparan, ilmiah, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan halal kaffah, umat Islam tidak hanya menjaga ibadah pribadi, tetapi juga membangun peradaban yang bersih, sehat, dan beretika. Konsep ini sejalan dengan nilai halalan thayyiban, bukan hanya halal secara hukum, tetapi juga baik, aman, dan bermanfaat bagi kehidupan.

Kolaborasi Multidisiplin

Untuk mewujudkan halal kaffah, umat Islam memerlukan pendekatan baru yang disebut halal science. Ilmu ini hadir untuk menjawab tantangan modern, menghadirkan pendekatan objektif, terukur, dan berbasis teknologi. Namun, halal science tidak bisa berdiri sendiri namun membutuhkan kolaborasi multidisiplin agar benar-benar kokoh dan menyeluruh.

Baca Juga  Ruang Berpikir Pasca Generasi Z

Multidisiplin tersebut antara lain: Ilmu bioteknologi dan biologi molekuler digunakan untuk autentikasi DNA, mendeteksi kontaminasi non-halal hingga tingkat genetik; Ilmu teknologi pangan untuk mempelajari rekayasa/proses pelibatan bahan tambahan, enzim, pelarut, serta peralatan produksi sesuai standar halal; Ilmu fikih dan syariah menjadi pondasi utama agar pendekatan ilmiah tetap sejalan dengan hukum Islam; Ilmu sosial, ekonomi, dan kebijakan/ hukum berperan membangun ekosistem halal yang adil, transparan, serta mampu menjawab dinamika perdagangan global.

Kolaborasi ini melahirkan sistem halal yang tidak hanya memenuhi tuntutan umat Islam, tetapi juga memberi kontribusi nyata pada peradaban dunia. Halal dipahami bukan sekadar label religius, melainkan juga standar etika, kesehatan, dan keberlanjutan. Dengan demikian, konsep halal kaffah memberi nilai tambah bagi umat manusia secara universal.

Hikmah

Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw mengajak kita kembali meneladani beliau dalam menjaga kesucian hidup. Halal adalah kunci doa, jalan berkah, dan pondasi peradaban. Namun, halal tidak boleh dipahami secara parsial. Ia harus ditegakkan secara kaffah, menyeluruh, dari hulu ke hilir, dari individu hingga sistem global.

Untuk itu, umat Islam membutuhkan kolaborasi multidisiplin yang menghadirkan halal science sebagai ikhtiar modern. Inilah wujud melanjutkan teladan Rasulullah: menggabungkan iman dengan ilmu, spiritualitas dengan sains, agar kehidupan menjadi lebih bersih, sehat, beretika, dan penuh keberkahan.

Dengan refleksi ini, Maulid Nabi tidak hanya menjadi perayaan, tetapi juga momentum memperbarui komitmen kita untuk menjaga halal secara kaffah, demi doa-doa yang dikabulkan Allah dan demi terwujudnya peradaban global yang berlandaskan nilai-nilai Islam.

Baca Juga  Penyediaan Alat Kontrasepsi untuk Remaja, Upaya Menormalisasi Seks Bebas?
*) Penulis: Vritta Amroini Wahyudi
Dosen Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Pengurus LPH-KHT PWM Jawa Timur; PhD Candidate in Biotechnology Chulalongkorn University, Thailand

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *