MAKLUMAT — Direktur RBC Institute A Malik Fadjar, M Subhan Setowara SHI MA, mengingatkan para kader Nasyiatul Aisyiyah (NA) bahwa permasalahan tidak selalu hadir dengan “wajah kegentingan,” tetapi menyamar sebagai kebiasaan yang seolah sudah diterima dan dinormalisasi. Dari ruang itulah krisis perlahan tumbuh.
Hal itu ia sampaikan ketika menjadi narasumber dalam kegiatan kaderisasi Darul Arqam Nasyiatul Aisyiyah (DANA) III yang digelar di The Millenium Building SD Muhammadiyah 4 (Mudipat) Pucang, Kota Surabaya, pada Jumat (26/12/2025). Dalam kesempatan itu, ia menandaskan pentingnya kesadaran kritis dan penguatas kepemimpinan kader Nasyiatul Aisyiyah pada paparan materi problem solving.
Sesi diawali dengan pertanyaan sederhana, “Apa itu masalah?” yang langsung memantik beragam jawaban peserta. Ragam respons tersebut menegaskan bahwa persoalan sering kali dipahami dari sudut pandang masing-masing, belum tentu dari realitas yang sesungguhnya.
Dalam paparannya, Subhan menguraikan secara tegas perbedaan antara isu, masalah, dan krisis. Isu masih berada pada ranah persepsi, sementara masalah merupakan kondisi yang sudah nyata dan faktual. Adapun krisis adalah situasi yang jauh lebih kompleks, terjadi dalam waktu lama, berulang, melibatkan banyak aktor, serta memiliki dimensi yang saling berkaitan.
Refleksi tersebut dinilai sangat relevan bagi perempuan, khususnya kader Nasyiatul Aisyiyah, yang kerap berhadapan dengan persoalan struktural yang telah lama dinormalisasi oleh waktu dan kebiasaan.
“Seringkali sebuah krisis itu tidak tampak menjadi masalah karena sudah menjadi kebiasaan. Padahal itu adalah masalah serius yang harus diselesaikan,” kata Subhan, dikutip dari laman resmi PWNA Jatim, Sabtu (27/12/2025).
Dalam kesempatan itu, Subhan mencontohkan krisis sampah di Bantar Gebang yang berlangsung bertahun-tahun dengan dampak besar, namun kerap dianggap wajar. Masyarakat bahkan tetap bertahan hidup di tengah pusaran krisis tersebut. Analogi itu menggugah kesadaran peserta bahwa banyak persoalan perempuan, mulai dari akses pendidikan, kebijakan usia, beban ganda, hingga ketidakadilan struktural, yang sering diperlakukan sebagai hal biasa, padahal sejatinya merupakan krisis yang menuntut keberanian untuk diurai.
Menurut Subhan, krisis tidak bisa diselesaikan secara instan. Ia memerlukan proses duduk bersama, kesabaran, dan kajian mendalam karena telah mendarah daging dalam kehidupan sosial. Namun sebelum masalah berkembang menjadi krisis, dibutuhkan fast thinking agar persoalan tidak menumpuk dan memburuk.
“Fast thinking membantu kita merespons cepat sebuah masalah, sementara kajian mendalam membantu kita mengambil keputusan yang benar,” jelas pria yang juga Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu.
Ia menjelaskan, fast thinking dalam konteks kepemimpinan perempuan kerap kali lahir dari intuisi, pengalaman lapangan, dan kepekaan sosial. Menurutnya, perempuan yang terbiasa mengelola banyak peran dinilai memiliki intuisi yang tajam.
Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa semakin lihai seseorang, semakin besar pula risiko jika terjadi kelalaian. Karena itu, kebijaksanaan menjadi kunci, terutama dalam pengambilan keputusan besar yang berdampak luas bagi organisasi dan gerakan.
Lebih lanjut, Subhan lantas mengajak para peserta DANA III untuk melakukan refleksi personal melalui pertanyaan kritis: dalam situasi apa mereka pernah mengambil keputusan cepat dengan hasil yang benar, dan dalam kondisi apa keputusan cepat justru membawa kesalahan. Refleksi ini mendorong kader untuk mengenali pola persoalan yang berulang.
“Pertajamlah keahlian di bidang yang sudah kita kuasai. Ada pola yang berulang dan dari situlah seseorang menjadi lihai,” tandasnya.
Subhan juga menekankan bahwa kematangan kepemimpinan ditandai oleh berkurangnya distraksi emosional. Seorang pemimpin yang matang, lanjutnya, tidak mudah diintervensi emosi, melainkan bekerja dengan kejernihan berpikir, kesadaran pola, serta pemahaman risiko dalam setiap keputusan yang diambil.