Reformasi Polri: Antara Dua Wajah, Sinergi atau Pertentangan?

Reformasi Polri: Antara Dua Wajah, Sinergi atau Pertentangan?

MAKLUMAT — Reformasi Polri kembali menjadi isu strategis setelah Presiden Prabowo Subianto menggulirkan rencana pembentukan Komite Reformasi Kepolisian. Langkah ini disusul oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri beranggotakan 52 perwira tinggi dan menengah. Keduanya sama-sama mengusung semangat pembaruan, namun lahir dari jalur berbeda: satu lewat mandat politik negara, satu lagi lewat inisiatif internal Polri.

Nurkhan
Penulis: Nurkhan.

Sekilas, dua lembaga ini menunjukkan keseriusan pemerintah dan Polri menjawab tuntutan publik. Namun di balik itu, muncul tanda tanya: apakah keduanya benar-benar saling melengkapi atau justru menimbulkan tumpang tindih kewenangan yang berakhir pada kegagalan?

Tim Transformasi Reformasi Polri dibentuk berdasarkan Surat Perintah Kapolri. Dipimpin Komjen Chryshnanda Dwilaksana, tim ini diisi orang-orang dalam Polri sendiri. Mereka tahu seluk-beluk organisasi, memahami kultur internal, sekaligus memiliki legitimasi struktural untuk mengutak-atik organ institusi. Dari sisi teknis, keberadaan tim ini masuk akal: reformasi membutuhkan tangan eksekutor yang menguasai detail birokrasi.

Sementara itu, Komite Reformasi Kepolisian adalah gagasan Presiden. Komite ini dimaksudkan sebagai mekanisme kontrol eksternal. Anggotanya dirancang melibatkan tokoh masyarakat, akademisi, dan pihak independen. Fungsi utamanya mengawal, menilai, sekaligus memberi koreksi atas reformasi yang berjalan di tubuh Polri. Singkatnya, Komite ini dihadirkan untuk menjawab keraguan publik: jangan sampai Polri hanya mereformasi dirinya tanpa kontrol dari luar.

Baca Juga  Anggaran Polri 2026 Bengkak Jadi Rp 145,6 Triliun, Perlukah Direformasi?

Secara konseptual, keduanya tidak bertentangan. Justru seolah ada pembagian peran: tim internal sebagai “tukang bangun”, sementara komite eksternal sebagai “pengawas proyek”. Namun, konseptualisasi yang ideal tidak menjamin praktik berjalan mulus.

Ada tiga potensi masalah serius yang mengintai. Pertama, tumpang tindih kewenangan. Jika Tim Reformasi Polri punya peta jalan sendiri sementara Komite Kepolisian menyodorkan rekomendasi berbeda, maka benturan kepentingan tak terhindarkan. Dalam birokrasi kita, tumpang tindih biasanya berujung pada stagnasi: semua sibuk berdebat siapa yang lebih sah, sementara publik tak melihat perubahan nyata.

Kedua, independensi. Tim internal, betapapun seriusnya, tetap bagian dari Polri. Naluri untuk melindungi citra institusi bisa lebih dominan daripada keberanian membuka borok. Sementara Komite eksternal bisa saja kehilangan taji jika tidak diberi akses penuh pada data dan informasi. Jadilah reformasi hanya berhenti di ruang rapat, tanpa menyentuh akar masalah yang sebenarnya.

Ketiga, koordinasi politik. Presiden tentu ingin komite yang dibentuknya punya peran strategis. Kapolri pun tentu tak ingin otoritas internalnya digerus oleh lembaga eksternal. Jika ego kelembagaan lebih menonjol ketimbang kepentingan reformasi, dua lembaga ini akan menjadi “dua matahari” yang saling menyinari namun pada saat bersamaan membakar ruang orbit yang sama.

Mari kita jujur, masyarakat sudah terlalu sering mendengar jargon reformasi Polri. Dari era pasca-reformasi 1998 hingga sekarang, kata “reformasi” selalu hadir setiap kali Polri mendapat sorotan publik. Namun hasilnya belum pernah mencapai titik memuaskan. Kasus-kasus penyalahgunaan wewenang, praktik kekerasan, hingga skandal besar masih terus menghantui.

Baca Juga  Sukatani Band Buka Suara! Alami Intimidasi Polisi Sejak 7 Bulan Lalu

Karena itu, publik menilai bukan dari berapa banyak tim atau komite yang dibentuk, melainkan dari bukti konkret. Apakah Polri berani transparan? Apakah mekanisme pengawasan eksternal benar-benar diberi ruang? Apakah anggota Polri yang melanggar hukum diproses tanpa pandang bulu? Pertanyaan-pertanyaan ini jauh lebih penting daripada struktur kelembagaan reformasi itu sendiri.

Agar tidak terjebak pada dualisme, sinergi mutlak dibangun. Tim internal Polri harus rela membuka diri terhadap kritik dan menjadikan rekomendasi Komite eksternal sebagai panduan, bukan ancaman. Sebaliknya, Komite harus diberi otoritas yang jelas, akses terhadap data, dan kebebasan untuk menyampaikan evaluasi secara independen tanpa intervensi.

Presiden pun punya tanggung jawab besar. Jika benar serius, ia harus memastikan Komite bukan sekadar asesoris politik, melainkan lembaga dengan daya gigit yang nyata. Kapolri juga harus membuktikan bahwa tim internal bukan benteng pertahanan untuk status quo, melainkan motor perubahan.

Dengan demikian, reformasi tidak lagi berhenti pada jargon, tetapi masuk ke ranah kebijakan yang bisa dirasakan publik: pelayanan kepolisian yang cepat, adil, humanis, dan akuntabel.

Keberadaan Tim Transformasi Reformasi Polri dan Komite Reformasi Kepolisian adalah peluang emas. Namun peluang ini bisa berubah menjadi jebakan jika tidak dikelola dengan sinergi. Bila keduanya berjalan sendiri-sendiri, publik akan menilai reformasi Polri hanya sebagai drama politik yang membuang energi. Tetapi bila mereka bisa bersatu, ini bisa menjadi momentum untuk menutup luka lama dan membuka babak baru kepercayaan masyarakat pada institusi kepolisian.

Baca Juga  Bukan Sekadar 4 Pulau: Mengingat Kembali Kesepakatan Aceh–Sumut Tahun 1992

Reformasi Polri tidak boleh lagi sekadar wacana. Ia harus menjadi kenyataan, meski pahit, meski sulit, dan meski menyakitkan bagi sebagian pihak. Karena di ujungnya, yang dipertaruhkan bukan hanya marwah Polri, melainkan masa depan keadilan dan kepercayaan rakyat pada negara.***

*) Penulis: Nurkhan
Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo Panceng, Gresik, Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *