MAKLUMAT — Ketua KPU Kota Madiun, Pita Anjarsari, menilai bahwa dalam dinamika politik elektoral, regulasi yang ada sebenarnya telah memberi peluang cukup besar bagi perempuan. Seiring waktu, aturan yang mengatur keterwakilan perempuan terus diperbaiki agar lebih berpihak.
Namun, menurutnya, peluang yang sudah tersedia ini belum sepenuhnya diimbangi oleh kesiapan individu. Hal ini sangat penting, mengingat partisipasi perempuan dalam kehidupan tata negara sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
“Dari sisi regulasi sebenarnya sudah dibuka peluang, peluang sebesar-besarnya untuk perempuan. Nah, kalau menurut saya itu kembali ke perempuannya sendiri,” ujarnya kepada Maklumat.id saat di Surabaya, Ahad (13/7/2025).
Pita menjelaskan bahwa dalam pendaftaran partai politik, pendaftaran peserta pemilu, hingga pencalonan legislatif, sudah ada ketentuan mengenai keterwakilan perempuan. Misalnya, dalam daftar calon legislatif, partai wajib memenuhi komposisi minimal 30 persen perempuan. Ini menjadi bagian dari upaya jangka panjang agar perempuan mendapat ruang lebih di politik.
Namun demikian, ia menilai bahwa regulasi yang berpihak saja tidak cukup. Perempuan tetap perlu mempersiapkan diri agar bisa bersaing dan diakui secara substantif, bukan hanya simbolik.
“Ketika perempuan itu mau memposisikan atau bisa memposisikan diri seperti caleg laki-laki—dalam hal pengaruh di masyarakat, kemampuan diri, modal, posisi di partai politik—saya yakin bisa,” imbuh perempuan kelahiran Nganjuk tersebut.
Menurutnya, jika aspek-aspek tersebut belum dipenuhi, maka perempuan cenderung hanya hadir sebagai pelengkap keterwakilan, bukan sebagai aktor yang benar-benar berperan. “Modalnya kan di situ. Tapi ketika perempuan belum bisa mencapai itu, ya saya yakin hanya sebatas sebagai keterwakilan perempuan saja,” tandasnya.
Ia juga menyinggung soal tantangan struktural yang masih ada di dunia politik, terutama dalam hal budaya kerja yang belum sepenuhnya inklusif. Jadwal rapat malam hari, lokasi pertemuan yang kurang ramah bagi perempuan, dan kebiasaan-kebiasaan partai tertentu seringkali menjadi hambatan tersendiri.
“Ketika kita sudah masuk di dunia politik, masuk di ranah publik istilahnya, ya memang konsekuensinya kita harus menyeimbangkan antara urusan domestik dengan urusan publik,” katanya.
Menurutnya, perempuan yang baru masuk ke ruang-ruang itu tidak bisa serta-merta mengubah sistem. Tapi bila jumlah perempuan terus bertambah, perlahan dinamika dan kebiasaan internal bisa berubah.
“Maka ketika kekuatan perempuan ini bertambah, tidak hanya satu dua dan lain sebagainya, maka pelan-pelan kebiasaan ini akan bisa dirubah,” ujarnya.
Pita menambahkan, partai politik juga punya tanggung jawab untuk menyesuaikan pola kegiatan dengan keberadaan kader perempuan. Lingkungan politik yang ramah terhadap perempuan harus dibangun secara sadar.
“Dari sisi partai politik, sekali waktu ketika melakukan kegiatan-kegiatan, maka juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan bahwasannya di situ ada keanggotaan perempuan, itu harus dipertimbangkan juga,” katanya.