
MAKLUMAT – Rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Prof. Abdul Mu’ti menghidupkan kembali metode penjurusan untuk SMA sederajat mendapat berbagai tanggapan dari berbagai ahli. Padahal, pejabat sebelumnya telah mengubah menjadi Kurikulum Merdeka pada 2019-2024.
Tentu isu ini memunculkan optimisme maupun kekhawatiran terkait masa depan pendidikan Indonesia. Namun, Wakil Rektor I (Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Teknologi Digital) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. Dr. Akhsanul In’am, Ph.D memiliki pandangan sendiri.
Menurutnya, perubahan kebijakan ini hal umum dalam sistem pemerintahan. Merdeka belajar, lanjutnya, memiliki celah sebagai bahan evaluasi baik pemerintah maupun masyarakat.
Kurikulum ini memiliki beberapa kekurangan yang berdampak negatif bagi guru maupun siswa. Misalnya kualitas belajar siswa yang tidak fokus, peningkatan kualitas guru yang tidak terlaksana, serta hasil evaluasi siswa yang tidak tertulis.
Mewadahi Kebutuhan Siswa Berjenjang
“Akibatnya muncul ketidakpuasan hasil. Padahal, siswa memiliki hak untuk fokus dalam belajar dan mendapatkan feedback dalam mendukung proses belajarnya,” ungkap Akhsanul In’am.
Ia mengakui rencana menghidupkan kembali penjurusan merupakan jawaban. Prinsip kecenderungan siswa menekuni salah satu mata pelajaran tidak bisa dihindari.
Di sini peran pemerintah dan guru menfasilitasi kebutuhan pendidikan lanjut dan masa depan para siswa sangat penting. Kemampuan, peranan, dan sosok guru penting untuk terlibat dan sudah menjadi tugas guru meningkatkan potensi siswa.
Bukan Berarti Tanpa Celah
“Rencana perubahan kebijakan ini sah-sah saja. Sebab, tidak ada perubahan signifikan terkait system. Namun lebih kepada perubahan model pembelajaran. Ketersediaan tenaga pengajar atau guru sesuai kepakaran ilmu juga sudah terjamin,” tambahnya.
Secara keseluruhan, rencana kebijakan ini sangat baik untuk pendidikan tanah air, agar lebih fokus dan terarah. Selain mendukung keilmuan, hal ini memudahkan siswa memilih penjurusan di bangku kuliah. Setidaknya menyesuaikan dengan minat dan keterampilan dari bangku sekolah.
“Sejauh ini transformasi digital menuntut guru mampu memberikan pelajaran melalui pendekatan heutagogy (mandiri), peeragogy (kolaborasi/kelompok), dan cybergogy (internet),” ia menambahkan.
Perlunya Pematangan Visi
Meski demikian, In’am menegaskan perlu perhitungan matang dari pemerintah sebelum merumuskan kebijakan tersebut. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat perlu perhitungan yang cermat. Sebab orang tua siswa perlu menerima isu-isu superioritas penjurusan.
Tujuannya menghilangkan kecemburuan sosial dan kesalahpahaman orang tua siswa terhadap fasilitas laboratorium di masing-masing penjurusan.
“Penting juga mewujudkan kesepahaman terkait fungsi dan tujuan kurikulum penjurusan. Sebab, peran guru sebagai pendamping utama siswa untuk berinovatif dan kreatif adalah kunci kebijakan yang optimal,” tuturnya memungkasi.