MAKLUMAT — Reshuffle kabinet kedua Presiden Prabowo Subianto pada 17 September 2025 tidak bisa dipandang sekadar seremoni pergantian pejabat negara. Ia menjadi cermin kepemimpinan sekaligus indikator arah perjalanan politik bangsa. Namun, dari kacamata publik, langkah ini lebih menyerupai konsolidasi kekuasaan ketimbang reformasi struktural.
Pelantikan yang kembali dilakukan Prabowo menimbulkan pertanyaan tajam: apakah ini sekadar penyegaran birokrasi, atau justru konsolidasi politik demi merangkul kepentingan elite? Reshuffle memang bukan hal baru dalam praktik demokrasi Indonesia. Tetapi frekuensi dan momentum yang dipilih kali ini menunjukkan lebih dari sekadar teknokrasi. Prabowo tengah memainkan catur kekuasaan, memastikan papan permainan tetap terkendali di tengah dinamika politik yang kian kompleks.
Keterlibatan figur-figur partai politik memperkuat asumsi bahwa reshuffle ini bagian dari akomodasi kekuasaan. Dengan basis dukungan besar di parlemen, Prabowo tampak ingin memastikan tidak ada friksi internal yang menghambat agenda pemerintahannya. Namun publik berhak bertanya: di manakah ruang bagi profesional independen yang bisa bekerja tanpa beban politik?
Dilema klasik selalu muncul: menjaga stabilitas politik atau meningkatkan kinerja publik. Prabowo tampaknya berusaha memilih keduanya, meski prioritas lebih condong pada stabilitas. Sejarah pasca-reformasi memang menunjukkan stabilitas politik kerap dianggap kunci keberlangsungan pemerintahan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan tantangan berat. Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 melambat menjadi 4,9 persen (BPS), di bawah target APBN 5,3 persen. Inflasi pangan mencapai 3,8 persen year-on-year, dipicu kenaikan harga beras. Angka kemiskinan memang turun menjadi 9,2 persen, tetapi kesenjangan desa-kota makin lebar. Dalam konteks ini, reshuffle semestinya diarahkan pada percepatan solusi teknis, bukan sekadar penguatan politik.
Pertanyaannya: apakah wajah baru di kabinet mampu menjawab persoalan fundamental tersebut? Atau jangan-jangan reshuffle hanya menjadi window dressing untuk menutupi rapuhnya manajemen krisis ekonomi dan sosial?
Yang lebih mengkhawatirkan, indikasi politik transaksional kian menguat. Transparency International 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, stagnan dari tahun sebelumnya. Jika kursi kabinet terus diperlakukan sebagai komoditas politik, sulit berharap ada terobosan serius dalam pemberantasan korupsi.
Editorial The Jakarta Post bahkan menegaskan bahwa reshuffle di Indonesia kerap menjadi pintu masuk kompromi politik, bukan pintu keluar menuju reformasi birokrasi. Kritik ini tepat. Jika loyalitas menteri lebih besar kepada partai ketimbang presiden atau publik, kebijakan akan selalu dibayang-bayangi kalkulasi elektoral.
Publik Menunggu Bukti, Bukan Seremoni
Pelantikan dengan segala simbol kemewahan tidak cukup meredam skeptisisme. Yang dibutuhkan rakyat adalah bukti nyata: harga kebutuhan pokok turun, kualitas pendidikan membaik, akses kesehatan lebih merata, serta lapangan kerja yang lebih luas.
Survei Indikator Politik Indonesia terbaru mencatat hanya 49 persen masyarakat yang puas terhadap kinerja kabinet Prabowo setelah 100 hari kerja, turun dari 61 persen pada awal pemerintahan. Penurunan kepercayaan ini menjadi sinyal keras bahwa publik menuntut langkah konkret, bukan sekadar pergantian wajah.
Reshuffle kedua sejatinya menjadi ujian demokrasi. Di satu sisi, presiden memiliki hak prerogatif penuh menunjuk menteri siapa pun. Namun di sisi lain, demokrasi menuntut transparansi, akuntabilitas, dan orientasi pada kepentingan publik.
Jika reshuffle hanya mempertebal barisan elite, demokrasi akan semakin jauh dari rakyat. Tetapi bila langkah ini diikuti reformasi birokrasi dan percepatan kerja nyata, sejarah bisa mencatat Prabowo mampu membalikkan skeptisisme menjadi optimisme.
Sayangnya, hingga kini yang tampak lebih dominan adalah kalkulasi politik. Inilah paradoks demokrasi kita: pemimpin kerap terjebak menjaga kursi ketimbang mengangkat derajat rakyat.
Pada akhirnya, harapan publik sederhana: agar reshuffle kedua ini bukan sekadar ritual politik, melainkan momentum perubahan nyata. Jika tidak, pelantikan ini hanya akan tercatat sebagai satu episode lain dari panjangnya drama politik Indonesia—di mana rakyat kembali dipaksa menunggu janji yang tak kunjung tiba.***