KETUA Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr phil Ridho Al Hamdi mencatat, setidaknya terdapat sejumlah kejanggalan dalam segala proses pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024. Terutama terkait keterlibatan Presiden dan sejumlah menteri dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Beberapa catatan Ridho terkait pelaksanaan pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 utamanya, disampaikan dalam forum Mahkamah Rakyat: Sidang Pendapat Rakyat untuk Keadilan Pemilu di Gedung Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Jumat (19/4/2024) kemarin.
Ridho mengawali sambutannya dengan mengutip pasal 24 huruf c ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang berbunyi bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Putusan MK bersifat final untuk salah satunya memutus perselisihan tentang hasil pemilihan.
“Konstitusi jelas memberikan wewenang pada MK untuk mengadili sebuah perkara tentang perselisihan hasil pemilu,” katanya dalam acara yang juga disiarkan via daring itu.
Meski begitu, Ridho berpendapat, sengketa atau perselisihan pemilu yang tengah diproses oleh MK bukanlah semata soal hasil penghitungan suara semata. Dia menilai, MK harus melihat bukan hanya pada permohonan peserta pemilu, melainkan juga dinamika yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan sengketa tersebut.
“Jadi MK bukan hanya perlu menimbang seluruh aspek gugatan pemilu yang diajukan oleh para pemohon, tetapi juga catatan kritis dan ungkapan keprihatinan kalangan masyarakat, terutama para guru besar dan masyarakat sipil, yang banyak disampaikan di berbagai forum termasuk surat-surat pendapat sahabat pengadilan atau amicus curiae,” terang alumnus TU University Dortmund, Jerman itu.
Menurut Ridho, pemilu yang adil setidaknya harus memenuhi tiga prinsip. Pertama, setiap tindakan, prosedur dan keputusan terkait pemilu sesuai dengan kerangka hukum.
“Kedua, negara melindungi atau memulihkan hak pilih. Ketiga, negara memungkinkan warga yang ingin bahwa hak pemilih mereka telah dilanggar untuk mengajukan penangguhan mengikuti persidangan dan mendapatkan putusan,” ujarnya.
Seluruh dugaan kejanggalan dan kecurangan yang terjadi pada pemilu 2024, kata Ridho, memang sekilas seperti tak berhubungan langsung dengan penyimpangan konsep-konsep dan kerangka kerja teknis pemilu.
“Akan tetapi esensinya, prakondisi, kondisi dan berbagai proses penyelenggaraannya, hingga segala hal yang memengaruhi kebebasan memilih warga jelas dapat diberlakukan sebagai kejanggalan dalam pemilu, setidaknya sebagai penyimpangan dan penyalahgunaan proses pemilu,” jelas dia.
“Padahal integritas pemilu dibutuhkan untuk menguatkan legitimasi publik, bukan justru diwarnai praktik-praktik yang dilanggar,” imbuh Ridho.
Ridho mencatat sejumlah pelanggaran dan penyalahgunaan instrumen negara selama proses pemilu 2024. Pesta demokrasi itu, kata dia, diwarnai dengan praktik-praktik pelanggaran etika dan prinsip keadilan pemilu saat penetapan capres-cawapres, pelanggaran prinsip netralitas pejabat negara, hingga pelanggaran penyalahgunaan sumberdaya negara.
“(Lalu) pelanggaran penyalahgunaan institusi negara, pelanggaran netralitas penyelenggara pemilu selama masa kampanye, termasuk kejanggalan pengkondisian skenario satu putaran,” ungkapnya.
Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu menyorot, soal tindakan dan kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) serta sejumlah menteri dan pejabat publik lainnya yang disebutnya tidak netral.
Hal itu, menurut Ridho, dapat memicu masifnya ketidakpercayaan publik. Apalagi, bahwa penyalahgunaan sumberdaya negara itu digunakan untuk kepentingan partisan.
“Kebijakan dan tindakan presiden dan sejumlah pejabat kabinet yang tidak netral lantas dapat memicu kondisi ketidakpercayaan publik, apalagi disertai tindakan penyalahgunaan sumberdaya negara untuk tujuan partisan. Sebagai kepala pemerintahan, presiden dipandang negatif karena tidak berdiri di atas semua golongan,” tandas dia.
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto