MAKLUMAT — Tiga akademisi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) merilis karya ilmiah terbaru mereka dalam bentuk buku berjudul ‘Sistem Pemilu Indonesia”, melalui sebuah forum diskusi bedah buku di Gedung AR Fachruddin A UMY pada Selasa (21/1/2025).
Para peneliti Muhammadiyah sekaligus penulis buku tersebut, yakni Ridho Al-Hamdi, Tanto Lailam, serta Syakir Ridho Wijaya, menawarkan desain yang dianggap bisa menjadi jalan tengah atas sistem Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia.
“Di bawah UU Pemilu No. 7 Tahun 2017, penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 dan 2024 berdampak pada munculnya sejumlah masalah, seperti merajalelanya politik uang, maraknya pelanggaran sekaligus kecurangan, banyaknya petugas pemilu yang meninggal dunia serta ketidaknetralan aparat dan pejabat pemerintah,” ujar Ridho memaparkan soal karyanya, Selasa (21/1/2025).
“Perdebatan sistem Pemilu antara perwakilan proporsional daftar terbuka (OLPR) ataupun proporsional daftar tertutup (CLPR) juga tidak menyelesaikan masalah. Begitu juga penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) maupun ambang batas presiden (presidential threshold) yang hanya menguntungkan segelintir elit politik. Prinsip partisipasi publik secara luas seakan terabaikan,” sambungnya.
Sebagaimana diketahui, era reformasi sudah berjalan lebih dari seperempat abad sejak 1998. Tetapi, Ridho menilai selama itu pula justru sangat jarang menemui tren yang membaik ke arah positif. Sebab itu, ia berpendapat perlu adanya evaluasi fundamental terhadap sistem dan tata kelola pemilu di Indonesia.
Hasil Kajian Lapangan
Buku ‘Sistem Politik Indonesia’ tersebut, merupakan hasil kajian lapangan (an empirical study) dengan melibatkan banyak pihak sebagai narasumber, seperti komisioner KPU dan Bawaslu, aktivis partai politik, akademisi kampus, dan pegiat kepemiluan, yang tersebar di Aceh, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, serta Papua. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan banyaknya kasus pelanggaran dan kecurangan Pemilu, banyaknya kasus politik uang, banyaknya kasus kematian penyelenggara Pemilu, keterwakilan kawasan Indonesia, ibukota negara, daerah otonomi khusus, dan persebaran basis dukungan Pilpres.
Ridho, yang juga Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, menilai perlunya tawaran baru tentang desain sistem Pemilu yang fokus pada tiga isu utama, yakni keserentakan Pemilu, sistem perwakilan berimbang, dan ambang batas. “Pandangan-pandangan narasumber tersebut kemudian diolah, diklasifikasikan, dan dianalisa dengan metode SWOT dan ditelaah kesesuaian pelaksanaan pemilu dengan kerangka embedded democracy,” jelasnya.
Keserentakan Pemilu
Dalam hal keserentakan Pemilu, buku ini menawarkan model keserentakan Pemilu yang dipisahkan ke dalam Pemilu Serentak Nasional (PSN) dan Pemilu Serentak Lokal (PSL). Adapun jeda waktu di antara keduanya kurang lebih 2,5 tahun. Rentang waktu itu adalah bagian dari tata kelola Pemilu supaya tetap mengaktifkan peran penyelenggara Pemilu, partai politik, dan pemilih dalam mempersiapkan segala aspeknya.
“Model ini lebih efektif dan lebih relevan untuk konteks Indonesia yang beragam budaya dengan berbagai macam pulau serta keanekaragaman yang lain. Dalam hal PSN, Pileg lebih didahulukan dan diikuti beberapa bulan kemudian dengan Pilpres. Karena itu, syarat ambang batas presiden didasarkan pada Pileg di tahun yang sama, bukan hasil Pileg pada periode (lima tahun) sebelumnya,” terang Ridho.
“Karena itu, revisi UU Pemilu No 7 Tahun 2017 adalah sebuah keharusan dengan memasukkan rezim Pilkada menjadi bagian dari rezim Pemilu. UU Pilkada dilebur ke dalam UU Pemilu sehingga menjadi satu kesatuan rezim Pemilu. Yang juga sangat penting dari itu, lembaga legislatif dan eksekutif harus sama-sama memiliki political will untuk melakukan revisi UU tersebut secara profesional,” imbuh alumnus TU University Dortmund, Jerman itu.
Desain Sistem Pemilu Perwakilan Berimbang
Kemudian, pada aspek tawaran desain sistem Pemilu perwakilan berimbang, studi ini berargumen, bahwa sistem CLPR secara internal memiliki lebih banyak kekuatan daripada kelemahan. Secara eksternal, sistem CLPR memiliki lebih banyak ancaman daripada peluang. Karena itu, penerapan sistem CLPR pada Pemilu Indonesia harus menyelesaikan aspek-aspek negatif, seperti ketidakmampuan pemilih dalam menentukan caleg terpilih, kurangnya kemampuan masyarakat dalam mengenal caleg yang merepresentasikan mereka, ketidakmampuan caleg non-kader dalam mendapatkan nomor urut yang diinginkan, dan kegagalan masyarakat dalam membuat komitmen langsung dengan caleg.
“Jika sistem CLPR tidak mampu menyelesaikan aspek-aspek negatif tersebut, ancaman terhadap sistem Pemilu di Indonesia adalah kebutaan politik yang dialami oleh masyarakat, meluasnya perilaku nepotisme, dan Pemilu yang ramah oligarki sehingga dapat mendikte kekuatan partai secara total. Dalam hal kesesuaian antara sistem CLPR dan kerangka embedded democracy, sistem CLPR memiliki dampak negatif di empat (semua) kriteria unsur kepemiluan sehingga dapat membahayakan proses konsolidasi demokrasi Indonesia. Dari empat kriteria tersebut, sistem CLPR benar-benar tidak sesuai secara penuh dengan kriteria hak pilih inklusif. Karena itu, studi ini merekomendasikan untuk tidak menggunakan sistem CLPR,” ungkap Ridho.
Sementara itu, sistem OLPR secara internal memiliki lebih banyak kelemahan daripada kekuatan. Secara eksternal, sistem OLPR memiliki peluang dan ancaman yang seimbang. Dari keempat kriteria, sistem OLPR memiliki kesesuaian penuh terhadap kriteria hak pilih inklusif sehingga tidak ada dampak negatif pada kriteria ini. Jika dihitung keseluruhan, sistem OLPR memiliki 10 tren positif dan 8 tren negatif. Hanya pada kriteria Pemilu yang terorganisir secara bebas dan adil, tren negatif lebih banyak daripada tren positif.
“Ini menunjukkan perlunya evaluasi terhadap sistem OLPR. Namun demikian, studi ini masih optimis, bahwa prinsip-prinsip sistem OLPR masih dapat digunakan dengan melakukan modifikasi tawaran sistem baru,” tandasnya.
Ridho menguraikan, ada setidaknya delapan tren negatif pada sistem OLPR yang harus diselesaikan: 1) kecurangan Pemilu yang dilakukan oleh caleg/partai politik dan penyelenggara Pemilu; 2) pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh petugas penyelenggara Pemilu ad hoc seperti PPK, PPS, KPPS, Panwascam, PKD, PTPS; 3) praktik-praktik politik uang atau vote buying; 4) hak yang sama yang tidak didukung dengan ketersediaan kompetensi dan integritas caleg yang baik; 5) ideologi caleg yang tidak jelas; 6) kompetensi caleg yang buruk; 7) ramah terhadap pemilik modal/cukong; serta 8) caleg terpilih seringkali disebabkan hasil praktik jual beli suara.
Atas dasar telaah di atas, studi ini menawarkan sebuah sistem Pemilu baru di Indonesia, yaitu sistem MLPR (Moderate List Proportional Representation). Sebuah sistem jalan tengah agar tidak terjebak pada dua dikotomi ekstrim, yang di satu sisi terlalu menggantungkan pada intervensi partai (party-centered politics) dan di sisi lain terlalu menggantungkan pada kekuatan sosok calon sepenuhnya (candidate-centered politics). Jalan tengah ini adalah sebuah usaha untuk mencari titik terbaik dalam rangka mengakomodir dua sistem Pemilu yang dianggap ekstrim tanpa menghilangkan salah satu maupun keduanya.
“Dengan sistem inilah, kita tidak terjebak lagi pada perdebatan seperti lingkaran setan yang tidak pernah ada habisnya karena kedua sistem (CLPR atau OLPR) tersebut sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan serta konsekuensi masing-masing,” papar Ridho.
Konversi Perolehan Suara
Dalam hal metode konversi suara, studi ini mengusulkan penggunaan rumus hitung Sainte Lague Murni yang pada tataran praktis lebih efektif dibanding dengan rumus hitung Kuota Hare.
“Efektifnya di mana? Jumlah akhir wasted vote pada rumus Sainte Lague Murni jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan rumus Kuota Hare. Hal ini terlihat secara konsisten setelah simulasi penggunaan dua perbandingan rumus tesebut dalam menghitung wasted vote yang terjadi pada hasil Pileg untuk DPR RI 2014 dan 2019. Karena itu, penggunaan metode Sainte Lague Murni jauh lebih relevan untuk Pileg Indonesia,” urainya.
Desain Ambang Batas
Mengenai tawaran desain Ambang Batas, analisa SWOT terhadap penerapan ambang batas Presiden menunjukkan, secara internal kekuatan dan kelemahan ambang batas Presiden adalah seimbang dengan lima fakta untuk masing-masing. Secara eksternal, ancaman ambang batas presiden lebih membahayakan daripada peluangnya. Secara keseluruhan, dampak negatif ambang batas presiden jauh lebih mendominasi daripada dampak positifnya. Begitu juga jika dianalisa dengan empat kriteria aspek kepemiluan pada kerangka embedded democracy, dampak negatif juga mendominasi daripada dampak positifnya.
Hal itu menunjukkan bahwa ambang batas Presiden memang harus direvisi. Semakin tinggi penerapan ambang batas Presiden, hal itu tentu berdampak pada tidak adanya prospek yang sesuai dengan kerangka embedded democracy. Dengan demikian, desain yang ditawarkan studi ini adalah penghapusan syarat ambang batas presiden.
Sebagai tawaran desainnya, pasangan capres-cawapres hanya bisa dicalonkan oleh partai politik yang berhasil meraih ambang batas parlemen dengan dua prasyarat, yakni ambang batas parlemen maksimal 3% dan pemisahan antara Pileg dan Pemilu eksekutif dalam jangka waktu berdekatan (3-4 bulan).
“Dampak praktis dari desain ini adalah memberikan peluang munculnya capres-cawapres potensial, memberikan peluang kepada partai untuk bisa mencalonkan paslon mereka, dan mengurangi konflik di masyarakat karena banyaknya ketersediaan paslon untuk dapat dipilih. Jikalau harus didesain maksimal ambang batas presiden, maka angka 20% kursi di DPR RI atau 25% suara sah nasional adalah batas maksimal yang harus dibentuk,” kata Ridho.
“Sementara desain ambang batas parlemen adalah maksimal 3% dari total perolehan suara sah nasional. Angka 3% setara dengan 18 kursi dari 580 anggota DPR RI hasil Pileg 2024. Bisa saja prosentase 3% tersebut kurang dari 18 kursi sebagai hasil teknis penghitungan konversi suara menjadi kursi. Namun demikian, alasan 3% setara dengan minimal 18 kursi parlemen bertujuan agar setidaknya semua anggota dalam sebuah fraksi dapat terdistribusikan ke semua Alkep DPR RI,” pungkasnya.