MAKLUMAT — Di tengah berbagai gempuran kontroversial mengenai wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang dinilai tergesa-gesa dalam proses legislasi sehingga masyarakat memberikan kritikan tajam dalam pembuatan regulasi strategis ini.
Namun, di balik semua tuduhan dan persepsi masyarakat tersebut, salah satu tujuan krusial dari revisi UU Minerba adalah mendorong percepatan hilirisasi mineral dan batubara serta inklusivitas.
Pemerintah berupaya untuk meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Ini menjadi langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan lapangan kerja baru.
Percepatan hilirasi tersebut menjadi urgensi untuk dilakukan. Maka, dalam implementasi di lapangan, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian.
Hal inilah yang menjadi dasar untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam melakukan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Pelibatan tersebut tidak lain adalah untuk memperluas partisipasi publik dalam sektor pertambangan.
Partisipasi masyarakat ini juga sebagai upaya terencana untuk melibatkan masyarakat yang akan terkena dampak (positif dan/atau negatif) dalam proses pengambilan kebijakan dan keputusan (Butar, 2010).
Peran partisipasi juga menjadi sangat krusial dalam kegiatan yang melibatkan seluruh aspek, proses, dan inisiatif yang diwujudkan sebagai kegiatan nyata, termasuk kemauan, kemampuan, dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi.
Selain itu, peran masyarakat juga dapat membangun ketanggapan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial serta mengembangkan serta memelihara budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Langkah strategis ini penting untuk menyesuaikan regulasi dengan dinamika global dan kebutuhan nasional, terutama dalam mendorong hilirisasi dan inklusivitas.
Mengapa Perguruan Tinggi?
Dari sebelas poin yang menjadi topik perbincangan dalam revisi ketiga UU Minerba, memang tercatat rencana prioritas pemberian WIUP kepada perguruan tinggi. Prioritas pemberian WIUP kepada perguruan tinggi disematkan dalam Pasal 51A.
Pada Ayat (1) pasal tersebut, tertulis WIUP mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi secara prioritas. Pada ayat berikutnya, pertimbangan pemberian WIUP tersebut adalah akreditasi perguruan tinggi dengan status paling rendah B.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki keyakinan kuat bahwa perguruan tinggi (PT) memiliki kapasitas riset dan pengembangan. Kampus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas.
Apalagi jika kampus juga memiliki jurusan pertambangan. Keterlibatan kampus dalam usaha pertambangan ini tentu tidak sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai akademik, sebab dikelola di tangan yang tepat dan profesional.
Dengan begitu, tentu DPR tidak menganggap bahwa perguruan tinggi menjadi alat politis yang bisa berdampak merusak citra dan reputasi lembaga pendidikan. Justru ketika tambang ini tidak dikelola oleh pihak profesional dengan sumberdaya yang berkualitas, maka akan menjadi ancaman serius terutama dalam keberlanjutan lingkungan.
Kehadiran perguruan tinggi tidak hanya semata untuk menambah pendapatan yang bisa memperkuat sektor pendidikan tetapi juga menyelamatkan ekonomi dan tetap memberikan suara kritis apabila dalam pengelolaannya ada ketidaksesuaian.
DPR akan menerima masukan dan saran dengan terbuka dari perguruan tinggi ketika terjadi adanya penyimpangan.
Tidak berarti bahwa keterlibatan kampus ini dianggap menjinakkan fungsi kritis terhadap kebijakan pemerintah. Ketika muncul opini publik seperti ini malah keliru dan perlu diluruskan.
Kampus memiliki peranan penting dalam menghasilkan ilmu pengetahuan dan menyampaikan pandangan kritis. Maka, tidak mungkin DPR mematikan peran banyaknya perguruan tinggi hanya karena mengelola tambang. Kampus tetap menjaga integritas akademik sebagaimana mestinya.
Sesuai dengan Pasal 33 bahwa mineral itu pemberian dari Tuhan yang seharusnya diperuntukkan untuk rakyat. Namun, fakta di lapangan justru dengan teknologi, metode dan kapital yang tinggi menyebabkan rekayasa monopoli dan menjauhkan dari masyarakat.
Pemilik konsesi yang saat ini mengelola tambang dengan alasan terpenuhinya modal, teknologi dan persyaratan lain. Akan tetapi, mereka tidak mengelola secara mandiri, melainkan dengan menggandeng pihak pemodal, pemilik alat dan orang yang memiliki kekuatan.
Inilah yang menjadi problematik karena menjadi bancakan oligarki dan pebisnis yang tidak pernah berakhir untuk menyengsarakan rakyat. Perguruan tinggi yang bisa menyelamatkan pengelolaan tambang ini dan mendekatkan kepada masyarakat sehingga lebih memiliki makna untuk pengembangan ekonomi dan sosial.
Inklusivitas dan Kesempatan UMKM
Meski menghadapi berbagai kontroversi dalam pengesahan RUU Minerba ini, perlu diketahui bahwa ketika revisi dipercepat, secara ekonomi dapat membantu meningkatkan pendapatan negara melalui pajak dan royalti.
Selain itu, dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada pelaku usaha lokal serta meningkatkan iklusi sosio ekonomi dan mempromosikan pertumbuhan domestik.
Selama ini, ketika dalam hal perizinan begitu dipersulit, RUU Minerba ini memperkuat sistem perizinan dan pengelolaan pertambangan. Salah satu contoh adalah pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada badan usaha kecil dan menengah, koperasi, dan organisasi kemasyarakatan keagamaan dengan skema prioritas.
Meskipun memang tidak dimungkiri bahwa potensi korupsi dan pengabaian perlindungan lingkungan terjadi, namun dengan kesiapan, mitigasi risiko, memperkuat pengawasan dan kontrol melalui penguatan regulasi dapat diminimalisir. DPR selalu berupaya untuk mengedepankan transparansi dan akuntabulitas dalam setiap proses kebijakan yang diambil.
Partisipasi aktif masyarakat dalam proses legislasi sangatlah penting untuk membangun kepercayaan dan memastikan bahwa kebijakan yang diimplementasikan benar-benar menguntungkan semua orang. Jangan sampai ada pihak yang merasa dirugikan terutama masyarakat yang dimungkinkan akan kena dampak.
Namun, ketika semua telah direncanakan dengan matang dan hasil kajian akademis dari perguruan tinggi, ini akan sangat membantu mewujudkan keadilan dan kesetaraan. Apa yang dilakukan oleh DPR dengan mempercepat hilirisasi, selaras dengan program Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai kemandirian energi.
DPR RI juga mengusulkan agar lahan pertambahan di bawah 2.500 hektare (ha) diprioritaskan untuk diberikan IUP nya kepada UMKM. Ketika ditemukan IUP yang tumpang tindih dan memiliki masalah, maka dikembalikan lagi kepada negara.
Oleh karenanya, DPR juga mendorong Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang selama ini dikelola oleh Kementerian Keuangan untuk diberikan dan dikelola mandiri oleh Kementerian ESDM yang diusulkan masuk dalam poin perubahan pada Pasal 51.
___________________________
*) Penulis adalah Anggota Komisi VI dan Badan Legislasi DPR RI Fraksi Partai Golkar
Artikel ini sudah pernah dimuat di laman Detik.com