24.5 C
Malang
Minggu, Maret 30, 2025
OpiniRUU yang Kriminalisasi Rakyat, Rakus Jabatan Bak Tikus, dan Kepala Babi

RUU yang Kriminalisasi Rakyat, Rakus Jabatan Bak Tikus, dan Kepala Babi

RUU Polri
Ilustrasi pembahasan RUU Polri di DPR RI. Foto:ChatGPT

MAKLUMAT — Setelah pengesahan RUU TNI yang memberi kesan terburu-buru, kini DPR memasuki babak baru, RUU Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akan dibahas setelah RUU KUHAP rampung. Komisi III DPR-RI tepat setelah UU TNI disahkan, Rudianto Lallo, menyatakan siap membahas RUU Polri dan Kejaksaan jika dianggap mendesak.

Penulis: Afifah Khoirun Nisa*

Seperti yang telah berkesudahan, pembahasan Rancangan Undang-Undang yang seharusnya melalui proses panjang dengan melibatkan partisipasi publik seakan-akan terkesan tidak membutuhkan rakyat lagi dalam pembahasannya.

Seperti proses pengesahan RUU TNI yang dilaksanakan dengan rapat tertutup serta tanpa membagikan draft resmi naskah akademis dan RUU TNI terbaru ke publik. Hal tersebut yang melahirkan kontroversi di dalam masyarakat terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan.

Jika menilik salah satu dari RUU yang siap untuk diperbarui oleh DPR, RUU Polri mendapatkan atensi yang besar dari masyarakat. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), RUU Polri memuat pasal bermasalah
terutama pada perluasan kewenangan yang masif tanpa landasan yang kuat.

Terdapat beberapa poin catatan kritis RUU Polri dimulai dari Pasal 16 ayat (1) huruf q yang berisi kewenangan polri dalam melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan
terhadap Ruang Siber.

Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri. Kewenangan tersebut jelas akan menghilangkan kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak untuk memperoleh informasi; serta hak warga negara atas privasi terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital.

Selanjutnya Pasal 16A yang mencakup kewenangan untuk melakukan penggalanga intelijen yang dilanjutkan Pasal 16B yang mengatur perluasan terhadap kewenangan Intelkam dengan memperbolehkan Intelkam Polri melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional.

Kewenangan tersebut akan memperluas kewenangan intelkam yang dimiliki oleh Polri sampai melebihi lembaga-lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Selain itu, tidak adanya definisi yang jelas terhadap “Kepentingan Nasional” menimbulkan pertanyaan besar.

Pasal 14 ayat (1) huruf o memberikan polri kewenangan untuk melakukan penyadapan. Hal
ini rentan disalahgunakan. Pasal 14 ayat (1) huruf g, polisi memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang.

Kepolisian memiliki hak untuk memberikan saran terkait penunjukan penyidik pegawai negeri sipil atau penyidik lain yang diatur oleh undang-undang, sebelum mereka secara resmi diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) huruf n pada perubahan Undang-

Undang Kepolisian. Situasi ini berpotensi menyebabkan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) memerlukan rekomendasi dari Kepolisian dalam mengangkat penyidiknya.

Akibatnya, independensi KPK dalam menangani perkara dapat semakin tergerus karena kewenangan penentuan penyidik berada di tangan Kepolisian. Pasal 16 ayat (1) huruf o, Kepolisian diamanatkan untuk memberikan arahan dan bantuan dalam proses penyelidikan dan/atau penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) maupun penyidik lainnya.

Lebih lanjut, Pasal 16 ayat (1) huruf p mengatur bahwa Kepolisian bertugas menerima hasil
penyelidikan dan/atau penyidikan dari PPNS dan penyidik lainnya untuk menerbitkan surat
pengantar.

Surat ini menjadi persyaratan formal agar berkas perkara dapat diajukan secara
sah kepada penuntut umum. Rencana perluasan wewenang Kepolisian dalam bidang
penyidikan ini memunculkan isu krusial, yaitu potensi Polri menjadi otoritas penegak hukum tertinggi dalam hal penyidikan, bahkan terhadap lembaga penegak hukum lainnya.

Ketentuan dalam Pasal 14 Ayat 1 Huruf (e) yang menyebutkan bahwa polisi akan
berpartisipasi dalam pembinaan hukum nasional menimbulkan ambiguitas mengenai bentuk partisipasi tersebut dan berpotensi terjadi duplikasi kewenangan dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM.

Selain itu, Pasal 14 Ayat 2 Huruf (c) memberikan kewenangan kepada Polri untuk mengelola sistem kota cerdas (smart city), yang dianggap memberikan otoritas tata kelola perkotaan yang terlalu luas bagi kepolisian.

RUU KUHAP, RUU Polri, dan RUU Kejaksaan yang kedepannya direncanakan untuk
diperbarui oleh DPR perlu dikawal dengan saksama oleh rakyat agar kesewenang-wenangan DPR dapat diminimalisir.

Namun rakyat tetap tidak akan berdaya apabila DPR dalam pengerjaan peraturan perundang-undangan tersebut memang sejak awal tidak berniat melibatkan partisipasi publik. Usaha penguatan demokrasi dari rakyat melalui demo di jalan-jalan pun mendapatkan kriminalisasi dari aparat kepolisian dan TNI.

Saran yang dapat diberikan dalam menjalankan fungsi legislasi oleh DPR agar dapat
mencakup dua poin, yakni detail dan transparan terhadap rakyat. Detail dalam hal ini perlu
adanya landasan ilmu yang kuat dalam penentuan pasal-pasal perubahannya dengan
menjelaskan secara rinci urgensi maupun definisi dari perubahan tersebut.

Transparan dalam hal ini melibatkan partisipasi publik secara penuh dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dengan membuka ruang diskusi dan menerima aspirasi rakyat, membagikan draft RUU terbaru yang sesuai dengan yang akan disahkan beserta naskah akademisnya, serta melaksanakan rapat terbuka yang dapat dilihat oleh rakyat.

*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, Kader IMM Kota Denpasar, Bali.***

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT

ARTIKEL LAINNYA

Populer