MAKLUMAT – Awal Desember 1911. Momen itu menjadi tonggak sejarah yang mengubah wajah pendidikan Islam di Nusantara, bahkan secara global. Jauh sebelum istilah “demistifikasi” menjadi trending topic di kalangan pembaca filsafat modern, gagasan revolusioner telah terpatri dalam sebuah lembaga pendidikan sederhana di Kauman, Yogyakarta.
Adalah KH Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah, yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islam (MIDI) pada 1 Desember 1911. Ini terjadi satu tahun penuh sebelum booming-nya organisasi Muhammadiyah pada 1912. Langkah ini, menurut banyak pengamat, adalah penanda kecerdikan luar biasa Kiai Dahlan dalam “meneropong masa depan zaman”.
Saat itu, wajah pendidikan Islam di Indonesia, khususnya madrasah, berada dalam kubangan dikotomi yang akut. Pendidikan klasik melalui pondok pesantren masih dominan, dengan sistem pengajaran yang baru bermula secara masif pada akhir abad ke-18.
Kurikulumnya? Hampir seluruhnya seputar Al-Quran, Hadis, ushul fiqh, dan ushuluddin. Sumber ajar nyaris dipastikan dari Timur Tengah. Di sisi lain, ada pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Kolonial, yang sekuler, yang seolah-olah menawarkan masa depan modern, namun miskin nilai keagamaan. Kiai Dahlan melihat celah kehampaan ini.
MIDI didirikan sebagai sintesa cerdas. Sebuah solusi atas sistem yang terlalu dikotomis. Pendidikan yang diinisiasi Kiai Dahlan ini menyajikan wajah baru Islam yang ideal. Tak hanya di Indonesia, tapi juga di mata dunia. Antropolog Boston University, Robert W. Hefner, pernah memuji langkah ini, menyebutnya sebagai upaya membawa perubahan signifikan.
Mengapa disebut “sekolah Kafir”? Karena MIDI berani menyertakan kurikulum yang antimainstream: pendidikan sains dan sumber-sumber Barat. Sumber-sumber yang kala itu lazimnya dianggap kafir atau menyimpang oleh kalangan tradisionalis karena berasal dari peradaban yang berkonflik dengan dunia Islam.
Lembaga pendidikan yang didirikan Muhammadiyah ini jelas-jelas tidak “meng-copy paste” model-model pendidikan Timur Tengah, seperti Al-Azhar di Mesir yang saat itu dianggap pusat pendidikan agama Islam.
Visi Jauh ke Depan Sang Kiai
Kiai Dahlan tidak hanya merumuskan kurikulum, tetapi juga mewariskan wasiat tentang pentingnya kader yang menguasai ilmu pengetahuan umum. Visi ini menjadi landasan mengapa Muhammadiyah kini memiliki rumah sakit, universitas, dan lembaga ekonomi. Kiai Dahlan berpesan: “Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Karena itu hendaklah warga muda-mudi Muhammadiyah hendaklah terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan (dan teknologi) di mana dan ke mana saja.”
“Jadilah dokter, sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan (profesional) lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu.”
Melawan Logika Mistika dengan Rasionalitas
Kurikulum integratif yang dipilih Kiai Dahlan ini adalah solusi. Sebuah upaya melepaskan umat Islam dari belenggu ketertinggalan di tengah cengkeraman Kolonialisme Barat.
Melalui MIDI, Kiai Dahlan berusaha memberikan sudut pandang baru yang rasional dalam melihat pola-pola kehidupan. Tujuannya adalah menghilangkan logika mistika yang kerap membuat umat Islam terjebak pada hal-hal yang tidak logis. Upaya demistifikasi, yang kini dibaca kembali, sesungguhnya sudah dimulai oleh Kiai Dahlan sejak 1 Desember 1911.
Namun, yang perlu digarisbawahi, Muhammadiyah adalah gerakan wasathiyah atau tengahan. Meskipun rasionalitas didorong sebagai cara pandang baru, sakralitas yang terkait iman, akidah, dan akhlak tetap dijaga dan diajarkan.
Inilah warisan Kiai Dahlan: sebuah sistem yang memadukan akal rasional dan iman yang sakral, mengantar umat Islam Indonesia keluar dari belenggu dikotomi, dan menjadi cetak biru pendidikan modern yang kini menjamur di seluruh penjuru negeri.***