MAKLUMAT– Presiden Prabowo Subianto pernah melontarkan istilah serakahnomics. Sebuah ungkapan untuk menggambarkan praktik ekonomi yang lahir dari kerakusan: menimbun barang, mempermainkan harga, dan menutup mata pada penderitaan rakyat. Kita pernah merasakannya pada krisis minyak goreng 2022. Kala itu, harga melambung karena praktik kartel dan penimbunan, sementara rakyat antre berjam-jam untuk sekadar membeli satu liter minyak.
Kini, wajah serakahnomics itu muncul bukan hanya di pasar, melainkan di lingkar kekuasaan. Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan, diduga memeras perusahaan dalam urusan sertifikasi K3. Dari tangannya, KPK pada Kamis (22/8/2025) menyita 22 kendaraan mewah, jauh melampaui harta yang tercatat dalam LHKPN. Nama Noel Ebenezer pun menjadi pejabat pertama di kabinet Prabowo yang terjerat kasus korupsi.
Fakta ini sungguh ironis. Pemerintahan Prabowo-Gibran sedang mendorong disiplin anggaran dan pemerataan ekonomi. Namun, seorang pejabat justru tergoda oleh nafsu pribadi. Ini bukan lagi sekadar pelanggaran hukum, tetapi cermin dari mentalitas serakahnomics: tidak pernah cukup, selalu ingin lebih, bahkan dengan mengorbankan kepercayaan publik.
Kasus Noel ini juga mengingatkan kita bahwa korupsi di Indonesia tidak berdiri sendiri. Ia berakar pada kerakusan yang sama dengan praktik menimbun minyak goreng, mempermainkan bahan pangan, hingga mencari rente dari proyek negara. Dari pasar tradisional hingga gedung kementerian, logika “ingin menang sendiri” merusak fondasi keadilan.
Presiden Prabowo harus melihat peristiwa ini sebagai peringatan keras. Tamparan keras. Publik menunggu tindakan nyata, bukan hanya sekadar pergantian pejabat. Tanpa langkah tegas, jargon kedaulatan ekonomi akan terdengar kosong. Korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara, melainkan juga menghancurkan moral bangsa.
Editorial ini menegaskan: serakahnomics dan korupsi adalah wajah yang sama dari keserakahan. Bila dibiarkan, republik ini akan terus terjebak dalam lingkaran krisis, dari pangan hingga pemerintahan. Menghentikannya berarti menegakkan kembali integritas dan keberanian politik.
Korupsi harus diperlakukan sebagai musuh bersama, bukan sekadar kasus hukum. Tanpa itu, negeri ini hanya akan jadi panggung bagi mereka yang pandai menimbun, baik mobil maupun rangkap jabatan demi harta dan kekuasaan. Dan rakyat, lagi-lagi, hanya akan jadi penonton yang harus menanggung beban. Semoga pemberantasan serakahnomics bukan sekadar omon-omon pidato Prabowo Subianto.***