Serbuan Produk China Bikin Industri Petrokimia Nasional Nyaris Kolaps

Serbuan Produk China Bikin Industri Petrokimia Nasional Nyaris Kolaps

MAKLUMATGelombang produk petrokimia asal China kian deras membanjiri pasar Indonesia. Industri dalam negeri pun megap-megap atau nyaris kolaps menahan tekanan harga murah, dan pasokan berlebih dari Negeri Tirai Bambu.

Fenomena ini bukan sekadar soal dagang bebas. Serbuan itu merupakan efek domino dari perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang membuat produsen China mengalihkan limpahan stoknya ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengungkapkan, impor petrokimia dari China melonjak hampir dua kali lipat hanya dalam dua tahun terakhir.

“Impor sudah tembus hampir dua kali lipat. Pada 2025 diperkirakan mencapai 150 ribu ton, naik tajam dari realisasi 80 ribu ton pada 2024,” ujar Fajar di Jakarta, Selasa (7/10).

Lonjakan itu diperkirakan makin parah tahun depan, seiring kebijakan tarif baru AS yang memaksa China mencari pasar alternatif. Terlebih kapasitas produksi petrokimia China terus melejit dengan banyaknya pabrik baru yang beroperasi.

China mempunyai keunggulan mutlak seperti sumber bahan baku lengkap, dari batubara, gas, hingga minyak, dan efisiensi produksi tinggi berkat teknologi maju. Kombinasi itu membuat biaya produksi mereka jauh lebih murah dibanding industri lokal.

“Mereka bisa produksi bahan baku plastik dan turunannya dengan biaya yang sangat rendah. Akibatnya, produk jadi dari China membanjiri pasar domestik,” tambah Fajar.

Baca Juga  Pajak Parkir di Surabaya: Ada 2.642 Titik, Mayoritas Belum Gunakan Sistem Palang

Data Inaplas menunjukkan, dalam dua tahun terakhir impor produk plastik jadi ke Indonesia mencapai 900 ribu hingga 1 juta ton per tahun, dan berpotensi menembus 1,2 juta ton pada akhir 2025.

Fajar mengingatkan, jika pemerintah tidak segera bertindak, industri hilir akan tumbang duluan, disusul sektor hulu yang menopang rantai pasok nasional.

“Kalau tak ada safeguard atau kebijakan antidumping, industri kita bisa mati pelan-pelan,” tegasnya.

Meski begitu, Kementerian Perindustrian mencoba menenangkan situasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sektor manufaktur masih menjadi penyumbang terbesar ekspor nasional, yakni 72,55% dari total ekspor dengan nilai US$ 13,22 miliar per Agustus 2025.

Sektor industri kimia, farmasi, dan tekstil (IKFT) bahkan tumbuh 6,7% (yoy), sementara subsektor kimia dan obat tradisional naik 9,39%, menunjukkan daya tahan industri yang masih terjaga.

Namun di lapangan, sinyal bahaya sudah jelas, karena tanpa perlindungan, industri petrokimia nasional bisa terseret arus produk murah dari China.

*) Penulis: Rista Giordano

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *