MAKLUMAT — Dosen Kajian Budaya dan Media Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Radius Setiyawan, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan sejumlah kepala daerah untuk mengirim siswa atau anak nakal ke barak militer untuk dibina di sana.
Sebagaimana diketahui, kebijakan tersebut diterapkan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, Bupati Cianjur Mohamad Wahyu Ferdian, Bupati Purwakarta Saepul Bahri Binzein, serta Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie, yang menuai pro-kontra di masyarakat dalam beberapa pekan terakhir.
Menurut Radius, langkah tersebut tidak sejalan dengan paradigma pendidikan. Sebaliknya, justru berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan anak-anak. Ia menilai, hal itu bukanlah solusi yang tepat dan merupakan kebijakan yang problematik.
“Mengirim anak-anak nakal ke barak militer bukan solusi yang tepat. Terdapat tiga alasan utama mengapa kebijakan ini problematik dari sudut pandang pendidikan,” ujar pria yang juga menjabat Wakil Rektor itu, seperti dilansir laman resmi UM Surabaya, Rabu (14/5/2025).
Tiga Alasan Penting yang Harus Diperhatikan
Ia menekankan sejumlah hal dan alasan yang penting untuk diperhatikan terkait kebijakan tersebut. Pertama, bahwa barak militer tentu memiliki tujuan yang sangat berbeda dengan lembaga pendidikan anak. Tentara, kata dia, dilatih untuk memiliki fisik dan mental yang kuat melalui metode disiplin keras, termasuk bentakan dan hukuman fisik.
“Secara paradigmatik, logika kebijakan ini bermasalah. Pendidikan anak tidak seharusnya disamakan dengan pendidikan militer,” jelas Radius.
Kedua, jika sekolah dianggap belum mampu menghasilkan siswa yang berkarakter baik, ia menyarankan bahwa langkah yang lebih tepat—dan mungkin yang terbaik—adalah memperbaiki kualitas pendidikan sekolah tersebut, bukan malah ‘melempar’ dan menyerahkan anak-anak kepada lembaga militer yang tujuannya tentu berbeda dengan sekolah.
Ketiga, Radius menekankan pada pentingnya memahami definisi ‘anak nakal’ secara komprehensif. Ia menerangkan, para siswa atau anak-anak nakal bukan berarti mereka tidak cerdas atau tidak memiliki potensi.
Menurut dia, kenakalan anak-anak harus dipandang sebagai gejala dari permasalahan yang lebih mendasar. Sebab itu, mengirim para siswa atau anak nakal tersebut ke barak militer tidak akan menyelesaikan atau menyentuh akar permasalahan secara utuh.
Pentingnya Pendekatan Berbasis Psikologi
Radius menekankan perlunya pendekatan pendidikan yang lebih konstruktif dan berbasis psikologi perkembangan anak. Ia menilai, kebijakan tersebut hanya sebatas langkah instan, yang justru bakal berdampak memperburuk kondisi anak.
“Intervensi pendidikan harus dilakukan secara sistematis, bukan dengan cara-cara instan yang justru dapat memperburuk kondisi anak,” tandas pria yang juga menjabat Ketua PP Pemuda Muhammadiyah itu.
Lebih lanjut, Radius mengingatkan bahwa pendekatan pendidikan secara militeristik berisiko menciptakan trauma bagi anak-anak, terlebih mereka yang ditempatkan di lingkungan disiplin ketat.
“Mereka tidak sedang berhadapan dengan musuh negara, melainkan anak-anak yang butuh bimbingan dan rehabilitasi psikologis. Pendekatan militeristik bisa menjadi bumerang jika tidak ditangani secara komprehensif,” katanya.
Tak hanya itu, ia juga menandaskan pentingnya evaluasi terhadap program-program pencegahan kenakalan anak-anak dan remaja, dengan berbasis pada pendidikan dan konseling. Menurutnya hal itu adalah solusi paling tepat.
Ia juga mendorong agar pemerintah menempuh langkah konkret, dengan memperkuat peran catur pusat pendidikan dalam menangani siswa nakal, yakni penguatan integrasi peran sekolah, keluarga, komunitas masyarakat, termasuk media, untuk mengontrol masalah tersebut.
“Jika pemerintah serius menangani kenakalan remaja, maka langkah yang harus ditempuh adalah memperkuat peran sekolah, keluarga, dan komunitas (masyarakat). Bukan dengan menerapkan sistem disiplin ala militer,” pungkas Radius.