Sorot Serangan Digital terhadap Neni Nur Hayati, Amnesty International: Kemunduran Iklim Kebebasan Berekspresi

Sorot Serangan Digital terhadap Neni Nur Hayati, Amnesty International: Kemunduran Iklim Kebebasan Berekspresi

MAKLUMAT — Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan dukungan bagi aktivis demokrasi dan kepemiluan sekaligus Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, yang mendapatkan serangan dan persekusi digital di media sosial (medsos).

Serangan digital melalui komentar-komentar kasar dan tak pantas, hingga peretasan, didapatkan Neni usai akun resmi Instagram Diskominfo Jabar berkolaborasi dengan @jabarprovgoid, @humas_jabar, @sapawarga_jabar, dan @jabarsaberhoaks, mengunggah video pada tanggal 16 Juli 2025 yang mencatut fotonya tanpa izin.

Sebelumnya, diketahui Neni mengunggah konten video di akun TikTok pribadinya @neninurhayati36 pada 5 Mei 2025 yang menyoroti kebijakan para kepala daerah dan kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi. Neni menegaskan, video tersebut ditujukan kepada seluruh kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada serentak 2024 dan sama sekali tidak menyebut nama Gubernur Jabar Dedi Mulyadi (KDM) secara khusus.

Save Neni Nur Hayati
Save Neni Nur Hayati

Menanggapi hal itu, Usman menegaskan bahwa serangan digital terhadap Neni adalah wujud nyata yang mengindikasikan kemunduran serius dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia.

“Ini adalah serangan terhadap kebebasan sipil dan semakin menegaskan kemunduran serius dalam iklim kebebasan berekspresi di Indonesia. Kritik yang sah dibalas dengan serangan adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi di Indonesia. Ini harus segera dihentikan,” ujar Usman, dilansir dari laman resmi Amnesty Indonesia pada Jumat (18/7/2025).

Baca Juga  Muhammadiyah-FSGI Protes Dedi Mulyadi; Kebijakan Kuota 50 Siswa Per Kelas Berdampak Langsung ke Sekolah Swasta

Ia meminta agar aparat penegak hukum harus secara proaktif mengusut serangan digital terhadap Neni tersebut. Menurutnya, setiap kegagalan dalam menyelidiki ataupun membawa mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan, memperkuat keyakinan bahwa para pelaku serangan memang berdiri di atas hukum, sehingga merasa aman bertindak semaunya.

“Jika ruang berekspresi terus dibungkam, maka kita akan terus mundur ke zaman gelap otoritarianisme yang seharusnya telah lama kita tinggalkan,” tandas Usman.

“Negara seharusnya hadir untuk melindungi, bukan membiarkan (apalagi berperan dalam) pembungkaman suara-suara kritis yang sah dari warga negara,” sambungnya.

Usman menandaskan, perlindungan hak atas kebebasan berekspresi yang diatur di Pasal 19 ICCPR berlaku untuk segala jenis informasi dan gagasan, termasuk informasi dan gagasan yang dianggap mengejutkan, menyerang, atau mengganggu, terlepas dari apakah konten informasi atau gagasan tersebut benar atau salah.

Usman juga mengungkapkan, berdasarkan data Amnesty International Indonesia pada periode Januari hingga Juli 2025, tercatat sedikitnya 16 kasus serangan digital terhadap 17 pembela HAM (Hak Asasi Manusia) di Indonesia.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *