MAKLUMAT — Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Hilirisasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr Med dr Supriyatiningsih SpOG MKes, menyoroti ketertinggalan Indonesia dalam publikasi dan inovasi global, yang menurutnya masih menjadi tantangan besar.
Kendari capaian publikasi ilmiah terus meningkat, menurutnya kontribusi Indonesia baru menonjol di level Asia Tenggara dan belum mampu menembus dominasi dunia. Sebab itu, ia menandaskan perlunya penguatan ekosistem riset secara menyeluruh.
“Kalau bicara posisi publikasi, di ASEAN kita cukup terlihat. Namun ketika dibandingkan secara global, Indonesia masih berjalan pelan,” ujarnya, dilansir dari laman resmi UMY, pada Sabtu (13/9/2025).
“Ini menjadi keprihatinan bersama, khususnya bagi perguruan tinggi yang ingin masuk jajaran 500 besar dunia,” sambung perempuan yang karib disapa dr Upi itu.
Tidak Cukup Hanya Kejar Jumlah Publikasi
Menurut dr Upi, perguruan tinggi tidak cukup hanya mengejar jumlah publikasi, tetapi juga harus memastikan riset memberi dampak nyata bagi masyarakat, industri, hingga kebijakan publik.
Membangun ekosistem riset, lanjutnya, bukan sekadar menambah laboratorium, tetapi juga menciptakan budaya kolaboratif lintas disiplin dan lintas negara. UMY, misalnya, telah menjalin kemitraan dengan National University of Singapore (NUS) untuk pengembangan riset di bidang pendidikan dan teknologi.
“Riset yang kuat harus ditopang kolaborasi. Tidak boleh berjalan sendiri. Harus ada sinergi antarperguruan tinggi, pemerintah, dan industri. Negara lain sudah bergerak cepat ke arah itu,” tambah dr Upi.
Ia lantas mencontohkan pada sejumlah konsorsium riset di rumah sakit besar mulai mengembangkan penelitian nano dan stem cell. Namun, banyak laboratorium kampus masih terkendala akreditasi dan pendanaan.
Pendanaan Riset Masih Bergantung Skema Pemerintah
Lebih jauh, tantangan lain yang dihadapi adalah terkait pendanaan riset yang masih bergantung pada skema pemerintah dengan mekanisme administrasi berbelit. “Banyak dosen sudah berusaha mengajukan proposal, tetapi mekanismenya berbelit. Bahkan ketika sudah berjalan, laporan pertanggungjawaban pun menyulitkan. Kondisi ini membuat motivasi riset tidak selalu tumbuh kuat,” ungkapnya.
Selain itu, budaya riset di kampus juga belum sepenuhnya terbentuk. Riset sering dipahami sebatas kewajiban akademik, bukan sebagai strategi membangun daya saing bangsa. Padahal, dengan ekosistem riset yang kokoh, hasil penelitian dapat diarahkan tidak hanya untuk publikasi jurnal, tetapi juga menghasilkan paten dan inovasi yang siap diadopsi industri.
dr Upi mengungkapkan, UMY kini tengah mengembangkan berbagai strategi penguatan riset, antara lain membentuk International Research Network (IRN), mendorong dosen dan peneliti terlibat dalam research field internasional, serta menghadirkan visiting professor dan visiting researcher dari berbagai negara.
UMY juga menargetkan peningkatan kualitas laboratorium agar terakreditasi ISO sehingga riset yang dihasilkan diakui secara global dan bisa dimanfaatkan industri. “Kalau kita ingin riset dipakai industri, laboratorium kita juga harus memenuhi standar internasional. Ini menjadi target kami agar hasil penelitian tidak berhenti hanya pada publikasi, tetapi benar-benar bisa diimplementasikan,” jelasnya.
Tahun ini, terangnya, UMY menargetkan puluhan paten baru dari riset dosen dan mahasiswa. Beberapa hasil penelitian bahkan mulai dimanfaatkan mitra Muhammadiyah di bidang kesehatan dan pendidikan.
“Kalau riset hanya berhenti di publikasi, dampaknya tidak akan terasa luas. Kita perlu mencontoh negara lain yang menekankan hilirisasi hasil penelitian. Perguruan tinggi harus berani mendorong riset sampai tahap implementasi,” tandas dr Upi.