Sri Mulyani vs Purbaya: Pertarungan Narasi di Panggung Media dan Pasar

Sri Mulyani vs Purbaya: Pertarungan Narasi di Panggung Media dan Pasar

MAKLUMATSri Mulyani vs Purbaya. Demikian publik menilai. Pasar modal langsung gaduh ketika kabar Sri Mulyani Indrawati menuntaskan masa baktinya sebagai Menteri Keuangan mencuat, Senin (8/9/2028). Grafik IHSG seketika merah. Bursa merosot 1,78 persen, rupiah melemah lebih dari 1 persen. Investor panik, sinyal pasar bergejolak.

Sri Mulyani bukan sekadar pejabat. Selama dua periode, ia menjelma sebagai simbol disiplin fiskal. Defisit terkendali, rasio utang aman di angka 38–39 persen PDB, dan kredibilitas Indonesia melesat di forum global. Dengan komunikasi tenang dan diplomasi lembut, ia dihormati tidak hanya di Indonesia, tapi juga Bank Dunia hingga IMF.

Kini, tongkat estafet itu berpindah ke tangan Purbaya Yudhi Sadewa. Mantan Ketua LPS, ekonom blak-blakan, dan tak segan menyebut dirinya “menteri koboi”. Pasar menyambut dengan nada sinis. Kalangan bisnis lebih resah pada gaya bicaranya ketimbang angka kebijakan yang ia bawa.

Dua Filosofi Berbeda

Sri Mulyani memegang keyakinan: APBN ibarat gawang yang harus ia jaga. Stabilitas menjadi nafas setiap kebijakannya. Purbaya memilih jalan lain.

Ia datang dengan mandat menjadikan fiskal lokomotif pembangunan. Belanja produktif, insentif industri strategis, dan industrialisasi berbasis SDA masuk dalam agenda. Semua ia arahkan sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo.

Kontras langsung terlihat. Sri Mulyani dipuji sebagai lambang kehati-hatian. Purbaya dituntut berani ekspansif meski risiko fiskal membayang di depan mata.

Baca Juga  Semarak SAIH Massal, Mendikdasmen Abdul Mu'ti Ikut Beraksi di Kota Metro

Kontroversi 17+8: Awal Buruk Menkeu Baru

Baru hitungan jam, Purbaya tersandung. Pernyataannya soal aspirasi publik “17+8” memicu polemik. Ia menilai tuntutan itu akan hilang otomatis jika ekonomi tumbuh 6–7 persen. Publik marah. Ucapan itu dinilai arogan dan meremehkan.

Gelombang kritik meluncur dari BEM UI hingga YLBHI. Purbaya buru-buru mengaku salah. Ia menyebut dirinya “menteri kagetan” dan berjanji lebih hati-hati bicara. Namun, citra sudah terbentuk: menteri baru ini dianggap minim empati.

Masalah tak berhenti. Putranya ikut menambah gaduh lewat unggahan media sosial. Ia menuding orang miskin malas, sambil memamerkan kartu prioritas bank. Publik makin geram. Stigma arogan menempel, bukan hanya pada Purbaya, tetapi juga keluarganya.

Sri Mulyani: Dipuji Global, Dikritik Lokal

Di panggung dunia, Sri Mulyani dielu-elukan. Ia dinobatkan sebagai Menteri Terbaik di Dunia (2016) dan menerima penghargaan internasional dari IIF (2021).

Namun, di dalam negeri, kritik tak pernah reda. Pernyataannya soal gaji guru pernah digoreng habis-habisan netizen sehingga nama baiknya tercoreng. Julukan “Menteri Doyan Utang” sempat menempel. Ia menghadapi dilema klasik: menjaga disiplin fiskal demi pasar global atau memenuhi tuntutan populis di dalam negeri.

Jalan Terjal Purbaya

Purbaya menghadapi tantangan lain. APBN 2026 dipatok Rp 3.786,5 triliun. Namun, penerimaan negara hingga pertengahan 2025 belum sesuai target. Pilihannya jelas: cari sumber pendapatan baru atau kembali menambah utang.

Baca Juga  Muhammadiyah Punya SDM dan Potensi Besar, tapi Kadernya Selalu Kalah di Politik Praktis

APINDO menyambut positif tapi tetap hati-hati. Mereka berharap ia melanjutkan fondasi Sri Mulyani sekaligus mengeksekusi program strategis. Ekonom INDEF menilai target pertumbuhan 8 persen terlalu ambisius. Forum Pajak Berkeadilan bahkan menuding pengelolaan APBN kerap serampangan.

Membangun Ulang Kredibilitas

Purbaya paham dirinya butuh citra baru. Dalam rapat perdana dengan Komisi XI DPR, ia berjanji meninggalkan gaya koboi. Ia juga mendorong Badan Gizi Nasional menggelar konferensi pers bulanan. Tujuannya transparan: memperlihatkan penyerapan anggaran program Makan Bergizi Gratis.

Dengan strategi itu, ia berusaha menggeser narasi. Dari menteri penuh kontroversi menjadi pejabat yang bekerja nyata untuk rakyat.

Kesimpulan: Estafet Kebijakan, Beda Jalan

Pergantian dari Sri Mulyani ke Purbaya bukan sekadar rotasi jabatan. Ini perubahan strategi ekonomi nasional. Sri Mulyani meninggalkan warisan disiplin dan kredibilitas. Purbaya dituntut menghadirkan percepatan dan transformasi.

Sentimen negatif di awal jabatannya menjadi ujian besar. Hanya waktu yang bisa menjawab apakah Purbaya mampu menjembatani ekspansi fiskal dengan kehati-hatian, sekaligus mengembalikan kepercayaan publik dan pasar.

*) Laporan ini tersusun dari hasil riset atas 32 laman berita melalui analisis Gemini AI. Hasil analisa selengkapnya bisa diakses melalui tautan ini [Doc].

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *