MAKLUMAT – Di tengah derasnya arus perubahan geopolitik global, diskusi internasional menjadi ruang penting bagi pemangku kepentingan dunia untuk bertukar pandangan. Dalam forum bergengsi Budapest Global Dialogue (BGD) 2025, pada 16-18 Juni di Budapest, Hungaria, nama Tonny Dian Effendi mencuat.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu turut mewarnai diskusi internasional. Di forum diskusi internasional ini, Tonny tampil sebagai salah satu panelis pada sesi bertema The Key to Sovereignty in the 21st Century di hari kedua.
Ia berbagi panggung dengan tokoh-tokoh penting. Sebut saja János Csák, mantan Menteri Kebudayaan dan Inovasi Hungaria, kemudian Ken Jimbo, profesor dari Universitas Keio Jepang. Hadir pula Mentor Beqa dari Albania, serta Rami Desai dari Indian Foundation. Sesi ini dipandu oleh Noémi Pálfalvi, Direktur Hubungan Internasional Mathias Corvinus Collegium, Hungaria.
Esensi Poros Maritim Dunia
Tonny memilih jalur konstruktivisme dalam menyampaikan ide. Jelas, ini berbeda dengan sejumlah pembicara yang mengedepankan pendekatan realisme dan liberalisme dalam teori hubungan internasional.
Baginya, kedaulatan di abad ke-21 tidak bisa hanya membahas kerangka kekuatan dan kepentingan semata. Ia mengajak untuk meninjau ulang identitas nasional sebagai basis dalam merumuskan kebijakan luar negeri.
Sebagai contoh, ia mengangkat bagaimana Indonesia melalui konsep Poros Maritim Dunia. Ini adalah konsep membangun kembali identitasnya sebagai negara maritim. Menurut Tonny, langkah ini menjadi strategi penting Indonesia dalam merespons perubahan geopolitik sekaligus memperkuat posisi tawar dalam percaturan global.
Terselenggaranya Budapest Global Dialogue 2025 ini atas prakarsa Hungarian Institute of International Affairs (HIIA). HIIA adalah salah satu lembaga pemikir terkemuka di Eropa yang fokus pada isu-isu kebijakan luar negeri.
Tahun ini, HIIA menggandeng Observer Research Foundation (ORF) dari India sebagai mitra strategis. Forum ini menghadirkan 95 pembicara dari 70 negara, dengan menjaring 400 peserta yang berasal dari pemerintahan, akademisi, pelaku usaha, hingga masyarakat sipil.
Diskusi internasional yang berlangsung selama tiga hari ini juga menghadirkan pembicara-pembicara kelas dunia. Liz Truss, mantan Perdana Menteri Inggris, membuka sesi hari pertama bersama John Mearsheimer, profesor politik internasional dari Universitas Chicago yang dikenal dengan teori realisnya. Kemudian Sanjeev Sanyal dari Dewan Penasehat Ekonomi Perdana Menteri India, Eric X. Li dari Chengwei Capital China, serta Gladden Pappin, Presiden HIIA.
Esensi Akademisi di Panggung Global
Pada hari kedua, Menteri Luar Negeri Hungaria Pétér Szijjárto dan Menteri Luar Negeri Makedonia Utara Timčo Muncuski turut memberikan pidato kunci. Keduanya menyoroti dinamika hubungan internasional saat ini.
Keterlibatan Tonny dalam forum internasional ini menjadi bukti kiprah akademisi Indonesia dalam diskusi global. Lebih dari sekadar partisipasi, kehadirannya membawa perspektif alternatif dari negara-negara global south, menawarkan wacana yang tidak melulu didominasi suara negara-negara besar.
Di tengah pergeseran kekuatan dunia dan tantangan kedaulatan negara, suara-suara seperti Tonny semakin penting. Diskusi internasional seperti Budapest Global Dialogue menjadi panggung strategis untuk memperluas ruang diskusi dan memperkaya perspektif. Setidaknya untuk mengukuhkan Indonesia dalam lanskap global yang terus berubah.