Komisi III DPR Minta Komite Reformasi Polri Jadi Penggerak Perubahan, Bukan Sekadar Simbol Politik

Komisi III DPR Minta Komite Reformasi Polri Jadi Penggerak Perubahan, Bukan Sekadar Simbol Politik

MAKLUMATAnggota Komisi III DPR RI Sarifudin Sudding meminta pembentukan Komite Reformasi Polri harus menjadi langkah nyata menuju perubahan budaya dan tata kelola kepolisian, bukan hanya formalitas politik.

Pernyataan ini menanggapi rencana Presiden Prabowo Subianto yang akan meresmikan komite tersebut, dan melantik sembilan anggotanya pekan depan. Menurut Sudding, langkah itu bisa menjadi momentum penting untuk memperkuat pengawasan eksternal terhadap Polri yang selama ini kerap dikritik publik soal transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme.

“Reformasi Polri tidak boleh berhenti di tataran dokumen atau laporan administratif. Publik menuntut perubahan nyata dalam budaya organisasi dan perilaku aparat di lapangan,” tegas Sudding dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (8/10).

Politikus Fraksi PAN itu juga menyoroti potensi tumpang tindih antara Komite Reformasi Polri bentukan Presiden, dan Tim Transformasi Reformasi Polri yang lebih dulu dibentuk oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

“Adanya dua tim dengan visi serupa harus diatur dengan jelas. Jangan sampai terjadi dualisme yang justru mengaburkan arah reformasi dan melemahkan fungsi pengawasan,” ujar legislator asal Sulawesi Tengah itu.

Sudding menilai tim internal Polri yang beranggotakan perwira aktif berisiko menjadi ‘tameng’ yang menahan kritik publik dan menghambat reformasi struktural maupun kultural. Karena itu, pengawasan eksternal harus diperkuat untuk memastikan proses reformasi berjalan objektif.

Sudding memaparkan empat agenda utama yang perlu menjadi fokus Komite Reformasi Polri, yakni transparansi dan akuntabilitas internal, dimana publik harus memiliki akses terhadap data kinerja, pelanggaran anggota, dan mekanisme penindakan.

Baca Juga  Zulhas Sebut PP 47/2024 Bukti Prabowo Serius dan Berpihak Kepada Petani

Kemudian demiliterisasi dan depolitisasi. Dalam hal ini Polri perlu menghapus jejak praktik militeristik dan keterlibatan dalam politik praktis. Selanjutnya penguatan pengawasan eksternal, Dimana Kompolnas dan lembaga independen harus diberi otoritas nyata, termasuk melalui judicial scrutiny dalam KUHAP baru.

Selain itu, perubahan budaya organisasi. Ini berarti reformasi harus menyentuh pola pendidikan, etika pelayanan publik, dan sikap aparat terhadap masyarakat, terutama kelompok rentan.

Menurut Sudding, keberhasilan reformasi Polri akan diukur dari dampak nyata terhadap perlindungan hak warga dan kepastian hukum, bukan dari simbol atau narasi politik.

“Komite Reformasi Polri harus menjadi instrumen kontrol efektif yang menuntaskan pekerjaan rumah reformasi 1998. Tujuannya jelas, memastikan Polri benar-benar menjadi institusi yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat secara profesional,” tandasnya.

*) Penulis: Rista Giordano

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *