Sutrisno dan Misi Besarnya: Menjadikan Zakat dan Wakaf Solusi Krisis Global

Sutrisno dan Misi Besarnya: Menjadikan Zakat dan Wakaf Solusi Krisis Global

MAKLUMAT — Dunia tengah menghadapi guncangan. Krisis global yang ditandai meningkatnya kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ketidakpastian ekonomi membuat banyak negara mulai mempertanyakan sistem ekonomi yang selama ini mereka jalani. Di tengah ketidakpastian itu, muncul sebuah tawaran yang tidak hanya menjanjikan stabilitas, tapi juga keadilan sosial: ekonomi Islam.

Di ruang kerjanya yang sederhana di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sutrisno, S.E.I., M.S.I., Ph.D., tampak tenang namun tegas ketika berbicara soal ekonomi Islam. Dosen Program Studi Ekonomi Syariah (Eksya) Fakultas Agama Islam itu menyebut bahwa ekonomi Islam bukan sekadar sistem keuangan, melainkan sebuah jalan hidup yang menawarkan solusi terhadap krisis zaman.

“Ekonomi Islam itu bukan hanya bicara halal dan haram. Ini sistem nilai yang lengkap, mulai dari etika bisnis, keadilan distribusi, sampai perlindungan terhadap kelompok rentan,” ujarnya dikutip dari laman UMY, Selasa (8/7).

Sutrisno menilai, salah satu kekuatan ekonomi Islam terletak pada keberpihakannya pada sektor riil. Larangan riba, prinsip keadilan, serta semangat berbagi menjadi tameng yang membuat sistem ini tahan terhadap badai krisis global. Ia menggarisbawahi, sistem ini mendorong transaksi yang bukan hanya legal, tapi juga etis.

Namun, bagi Sutrisno, kekuatan utama ekonomi Islam justru ada pada instrumen sosialnya: zakat dan wakaf.

“Zakat itu seperti respon cepat untuk kebutuhan mendesak—entah konsumsi, pendidikan, atau modal usaha. Sedangkan wakaf, itu investasi jangka panjang. Bisa untuk bangun sekolah, rumah sakit, bahkan startup wakaf,” jelasnya sambil tersenyum.

Baca Juga  Penurunan IHSG Picu Kepanikan Investor

Baginya, dua instrumen itu tidak boleh berdiri sendiri. Jika mustahik yang diberdayakan lewat zakat dilibatkan dalam pengelolaan aset wakaf, maka lahirlah masyarakat yang mandiri secara ekonomi. “Itu bukan sekadar bantuan, tapi transformasi,” tegasnya.

Namun tantangannya, kata Sutrisno, bukan hanya soal dana, tapi juga soal tata kelola. Ia mendorong lahirnya manajemen zakat dan wakaf yang profesional, transparan, dan berbasis data.

“Kita butuh sistem informasi yang bisa memetakan mustahik secara akurat. Jangan sampai zakat malah memperparah ketimpangan karena salah sasaran. Integrasi dengan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) harus jadi langkah awal,” tuturnya.

Peran Kampus

Tak berhenti di situ, ia juga menyoroti peran kampus sebagai motor penggerak inovasi. Di sinilah UMY, menurutnya, punya potensi besar.

“Mahasiswa bisa turun langsung bantu mustahik, bikin aplikasi zakat digital, atau meneliti model wakaf produktif. Dosen juga harus hadir, bukan cuma di ruang kuliah, tapi mendampingi lembaga zakat dan wakaf. Kampus bukan cuma menara gading, tapi ‘think tank’ sekaligus ‘action tank’,” ucap pria yang telah menamatkan studi doktoralnya di bidang ekonomi Islam itu.

Saat ditanya harapannya, Sutrisno menatap jauh ke luar jendela. “Generasi muda jangan cuma lihat zakat dan wakaf sebagai kewajiban agama. Lihat ini sebagai strategi membangun masa depan. Dunia butuh sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Islam sudah menawarkannya. Tinggal kita, mau atau tidak mengembannya,” tutupnya.

Baca Juga  UMY Kukuhkan Dua Guru Besar Bidang Keamanan Manusia dan Politik Gender
*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *