MAKLUMAT — Gusti Purboyo, putra bungsu almarhum Susuhunan Pakubuwono XIII, mendeklarasikan dirinya sebagai penerus tahta pada 5 November 2025, tepat di depan jenazah ayahandanya. Tindakan ini memicu ketegangan baru dalam internal Kasunanan Surakarta. Langkah yang dianggap sebagian pihak sebagai strategi untuk memanfaatkan momentum, justru membuka perselisihan mengenai legitimasi pewaris tahta.
Gusti Purboyo sebelumnya menyita perharian publik akibat pernyataannya di media sosial pada awal Maret 2025. Ungkapannya ketika itu, “Nyesel Gabung Republik”, memicu gelombang komentar dari warganet dan menambah sorotan terhadap dirinya.
Kini deklarasi Gusti Purboyo menuai kontroversi. Pemicunya, deklarasi dilakukan di depan jenazah sang ayah. Mereka yang menolak menganggap tindakan tersebut melanggar tata adat dan bertentangan dengan pedoman Mendagri sebagaimana tertuang dalam keputusan tahun 2017 itu.
Penolakan datang dari poros yang terdiri atas Maha Menteri atau Panembahan Agung KGPA Tejowulan serta Lembaga Adat Kraton yang dipimpin Kanjeng Gusti Ayu Murtiyah, atau Gusti Mung. Koalisi ini menilai bahwa suksesi harus melalui musyawarah keluarga dan mengikuti ketentuan dalam SK Menteri Dalam Negeri Nomor 430-2933 Tahun 2017, termasuk penunjukan pejabat sementara sebelum lahir keputusan keluarga mengenai pewaris tahta.
Dalam satu pekan setelah deklarasi itu, penentangan mewujud dalam pelantikan Kanjeng Gusti Hangabehi—putra sulung PB XIII—pada 13 November 2025 di hadapan keluarga besar Keraton. Prosesi jumenengan akan digelar setelah peringatan 40 hari wafatnya almarhum PB XIII.
Sejak wafatnya PB XIII pada 4 November 2025, dinamika suksesi kembali mengemuka. Situasi ini mengingatkan pada pergulatan panjang tahun 2004, ketika PB XII wafat tanpa putra mahkota. Saat itu, perebutan posisi terjadi antara Mas Suryo Partono (yang kemudian bergelar Hangabehi) dan KGPA Tejowulan. Konflik mereda setelah proses musyawarah keluarga yang melibatkan DPR, Kemendagri, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan Pemerintah Kota Surakarta. Kesepakatan itu kemudian dituangkan dalam SK Mendagri yang hingga kini menjadi rujukan.
Di tengah ketegangan di Kasunanan Surakarta, situasi berbeda terlihat pada saudara dekatnya, Kadipaten Mangkunegaran. Suksesi di sana berlangsung relatif tenang. Gusti Bre Cokrohutomo Wira Sujiwo dilantik sebagai Mangkunegoro X pada 12 Maret 2022, menggantikan Mangkunegoro IX yang wafat pada 13 Agustus 2021. Peralihan itu tidak menimbulkan perpecahan berarti, termasuk setelah Mas Bre memutuskan menjadi mualaf. Salah satu alasannya, posisi raja dalam tradisi Mangkunegaran memang mensyaratkan pemeluk Islam sebagai penerus tahta.
Situasi yang berbeda lagi tampak di Kadipaten Pakualaman, yang sejauh ini tidak memperlihatkan konflik internal. Namun di Kasultanan Yogyakarta, tanda ketegangan muncul setelah Sri Sultan Hamengkubuwono X menetapkan Gusti Nurmalitasari sebagai calon penerus. Sejumlah adik Sultan, termasuk Gusti Prabukusumo, menyatakan keberatan terhadap penetapan tersebut.
Suksesi di empat kerajaan penerus Mataram Islam—Kasunanan Pakubuwono Surakarta, Kasultanan Hamengkubuwono Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman—tidak selalu berjalan mulus. Ada masa ketika transisi berlangsung damai dan cepat. Peralihan dari HB IX ke HB X pada 1988–1989 merupakan salah satu contohnya. Begitu pula masa transisi dari PB IX ke PB X pada akhir abad ke-19, yang dikenal sebagai periode konsolidasi dan kemajuan Surakarta.
PB X, yang berkuasa selama 46 tahun (1893–1939), dikenal sebagai raja bernapaskan pembaruan. Pada masanya, infrastruktur kota berkembang pesat: rumah sakit, jembatan, industri pengolahan tembakau dan gula, Pasar Gede, hingga tata kota Surakarta. Hubungan dengan komunitas Tionghoa dan Arab juga terjalin erat. Di bidang pendidikan, PB X memberikan dukungan kuat pada pendirian sekolah-sekolah modern, termasuk Mambaul Ulum. Penerimaannya terhadap gagasan pembaruan Islam membuatnya bersahabat dengan KH Ahmad Dahlan, yang kemudian membuka cabang Muhammadiyah di Surakarta.
Lalu, apakah Gusti Hangabehi sebagai PB XIV akan mampu mengemban peran sebagaimana PB X—mampu menjaga martabat keraton, memahami perubahan zaman, dan menata kepemimpinan dalam tradisi yang terus berhadapan dengan modernitas?.
(*) Artikel di atas sudah naik di jejaring media afiliasi MU, Jakartamu.