MAKLUMAT — Ngebel, dengan bentang alamnya yang menawan dan Telaga Ngebel sebagai magnet wisata, seharusnya menjadi sumber kesejahteraan jangka panjang bagi warga Kabupaten Ponorogo. Sayangnya, keindahan Telaga Ngebel ternoda maraknya aktivitas tambang galian C—terutama penambangan pasir/tras dan tanah uruk. Hal ini mengundang tanda tanya besar: untuk siapa keuntungan itu, dan berapa yang harus dibayar oleh lingkungan serta masyarakat setempat?
Tiga Isu Utama
Pertama, masalah perizinan dan kepatuhan fiskal. Data dan investigasi lokal menunjukkan dari puluhan lokasi tambang di Kabupaten Ponorogo, hanya sedikit yang berizin dan menyetor pajak; banyak yang diduga beroperasi ilegal sehingga negara dan masyarakat kehilangan pemasukan yang seharusnya dipakai untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur. Ketimpangan ini menimbulkan kesan, “tambang yang untung tetapi tidak memberi manfaat publik.”

Kedua, dampak nyata pada infrastruktur dan keselamatan publik. Truk-truk bermuatan berat yang bolak-balik mengangkut material telah merusak poros Jalan Ngebel–Jenangan dan jalan desa—menimbulkan biaya pemeliharaan yang besar dan risiko kecelakaan. Kerusakan jalan bukan cuma masalah teknis: itu mengganggu akses warga, menghambat ekonomi lokal, dan menciptakan konflik antara penduduk dengan pelaku tambang. Ketiga, soal lingkungan dan risiko geohazard. Eksploitasi yang tidak terkontrol mengikis lereng, merusak tutupan vegetasi, dan meningkatkan potensi longsor dan erosi—khususnya berbahaya mengingat karakter topografi di sekitar kawasan wisata dan permukiman. Ini juga mengancam kelestarian sumber air dan fungsi ekologis kawasan yang semestinya dilindungi. Keberlanjutan jangka panjang terancam jika penambangan terus dibiarkan tanpa kajian dampak yang serius.
Usulan Langkah Prioritas
Apa yang harus dilakukan? Kami mengusulkan langkah-langkah berikut yang realistis dan prioritas:
-
Audit perizinan secara transparan dan cepat. Pemkab bersama Pemerintah Provinsi harus memetakan titik-titik tambang, menegaskan status perizinan, dan memublikasikan hasilnya. Lokasi tanpa izin harus diberi sanksi tegas.
-
Penegakan hukum dan pemulihan aset publik. Petugas (Satpol PP, Dinas ESDM/Pertambangan, Kepolisian, Kejaksaan) perlu menindak pelanggaran, memungut denda, dan menagih biaya perbaikan jalan serta mengamankan restitusi sosial-ekonomi bagi korban dampak.
-
Kajian lingkungan berbasis risiko dan penghentian sementara di zona rawan. Kawasan dekat wisata, sumber air, atau lereng curam harus ditetapkan sebagai zona lindung sampai ada kajian Amdal/UKL-UPL yang memadai.
-
Skema kompensasi dan reklamasi yang jelas. Perusahaan/pelaku tambang wajib menyetor jaminan reklamasi dan menyusun rencana pemulihan ekologis yang diawasi publik. Dana reklamasi dapat dipakai untuk menanam kembali, menstabilkan lereng, dan memperbaiki jalan.
-
Libatkan masyarakat dan transparansi penerimaan daerah. Agar pendapatan tambang benar-benar memberi manfaat publik, harus ada mekanisme transparan pelaporan penerimaan pajak/royalti, serta peran serta masyarakat dalam pengawasan.
Tambang bukan musuh jika dikelola secara bertanggung jawab—memenuhi aturan, memitigasi dampak lingkungan, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Namun, pengalaman di Ngebel memperlihatkan bahwa tanpa pengaturan tegas dan transparansi, keuntungan ekonomi sementara akan dibayar mahal oleh lingkungan, infrastruktur, dan keselamatan warga. Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan warga harus bergerak bersama: menegakkan aturan hari ini agar Ngebel tetap menyimpan masa depan yang produktif dan aman untuk generasi mendatang.***