
MAKLUMAT — Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar, menyampaikan tanggapan atas 33 catatan kritis terhadap konsep Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) dalam Halaqah Nasional yang digelar di Yogyakarta, Sabtu (19/4/2025). Dalam forum tersebut, Arwin menekankan pentingnya memperkuat implementasi KHGT yang direncanakan berlaku mulai 1447 Hijriah.
Salah satu kritik utama yang dibahas adalah soal otoritas penetapan kalender global, selengkapnya bisa diakses melalui tautan berikut ini [tanggapan 33 kritik]. Arwin menyatakan ketidaksetujuannya atas wacana pembentukan otoritas tunggal global seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab pada masa lalu. Ia menilai, sulit menentukan lembaga yang memiliki legitimasi global saat ini.
“Saya tidak setuju dengan otoritas dalam konsep kalender global karena sulit menentukan siapa yang paling otoritatif di dunia saat ini,” ujar Arwin dilansir dari laman Muhammadiyah, Senin (21/4/2025).
Ia juga mempertanyakan usulan menjadikan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sebagai otoritas resmi, mengingat dinamika politik yang dapat memengaruhi legitimasi lembaga tersebut. Sebagai solusi, Arwin mengusulkan agar keputusan adopsi KHGT diserahkan kepada masing-masing negara.
“Negara yang ingin menerima KHGT silakan, yang ingin mengkaji lebih lanjut boleh, dan yang tidak setuju dapat mengikuti kebijakan sendiri,” katanya.
Terkait parameter visibilitas hilal, Arwin menyoroti kriteria ketinggian hilal minimal 5 derajat dan sudut elongasi 8 derajat (5-8) yang digunakan dalam KHGT. Ia menyatakan bahwa dunia Islam masih kuat dengan tradisi rukyat fisik, sehingga diperlukan verifikasi lapangan atas parameter tersebut.
“Verifikasi ini dapat memperkuat penerimaan KHGT, terutama dalam konsep matlak global, di mana keterlihatan hilal di satu tempat dapat diberlakukan secara global,” paparnya.
Ia mencontohkan kasus perbedaan visibilitas hilal di Afrika dan Hawaii, serta kemungkinan terlihatnya hilal pada ketinggian di bawah 5 derajat. Menurutnya, hal ini memerlukan kajian lanjutan dan formula khusus agar KHGT tetap relevan dan dapat diterapkan secara luas.
Pendekatan KHGT
Menanggapi kritik atas pendekatan KHGT yang bersifat global terlebih dahulu sebelum penyatuan kalender lokal, Arwin menilai pendekatan global lebih efisien. Ia berpendapat bahwa penyatuan lokal terlebih dahulu berisiko ditolak secara global, yang akan menghambat proses.
“Jika kita menyatukan lokal dulu, lalu mengusulkan ke global dan ditolak, kita harus mengulang konsep lagi. Ini membuang waktu,” ujarnya.
Arwin juga menjelaskan penggunaan jam 00.00 sebagai acuan pergantian hari dalam KHGT. Menurutnya, penggunaan waktu fajar tidak memungkinkan penerapan seragam di seluruh dunia.
Dalam sesi tersebut, ia turut menanggapi keberatan terhadap penyebutan wilayah Amerika dalam klausul KHGT. Ia menyebut adanya usulan untuk mengganti nama wilayah menjadi posisi geografis demi menghindari kontroversi.
Arwin menegaskan bahwa kritik dan masukan merupakan bagian penting dalam penyempurnaan KHGT. Ia berharap verifikasi parameter 5-8 dan kajian atas berbagai kasus khusus dapat menjadi dasar penguatan implementasi kalender hijriah global ke depan.***