29.1 C
Malang
Selasa, April 15, 2025
KilasTitiek Puspa: Selamat Jalan, Perempuan Seribu Lagu

Titiek Puspa: Selamat Jalan, Perempuan Seribu Lagu

Penyanyi legendaris Indonesia, Titiek Puspa meninggal dunia, Kamis (10/4/2025). Foto:X @Titiek Puspa

MAKLUMAT– Ia menulis lagu seperti berdoa. Suaranya menyulam kenangan banyak generasi. Kini, ia pulang dalam senyap yang syahdu.

Pada Kamis sore yang lengang, 10 April 2025, pukul 16.30 WIB, seberkas cahaya dari dunia musik Indonesia berpulang. Titiek Puspa, seniman lintas zaman yang telah menjadi pujaan berbagai generasi, mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Ia pergi dalam usia 87 tahun.

Kabar duka itu datang pelan tapi pasti, seperti lirik-lirik lagunya: sederhana, tapi menggetarkan. Lewat pesan singkat, manajer Titiek Puspa, Mia, menuliskan pesan kepada wartawan Antara: “Telah wafat sekitar pukul 16:30, Eyang Titiek Puspa di RS Medistra.”

Tak lama berselang, Musica Studio, label musik yang menaungi karya-karyanya selama puluhan tahun, menyampaikan belasungkawa. “Semoga amal ibadah dan kebaikan Eyang Titiek Puspa diterima dan ditempatkan di tempat terbaik di sisi Allah SWT.”

Di media sosial, wajahnya menyembul di antara linimasa yang muram. Senyumnya, lagunya, suaranya—semuanya seperti hadir kembali dalam kepala banyak orang. “Bing”, “Kupu-Kupu Malam”, “Marilah Kemari”, “Doa Untuk Anakku”, “Apanya Dong”—lagu-lagu itu kembali didengar, seperti ritual perpisahan yang hening tapi menyala.

Fadli Zon, Menteri Kebudayaan, turut mengungkapkan duka:
“Selamat jalan komposer dan penyanyi legendaris Indonesia, Mbak Titiek Puspa… al-Fatihah.”

Titiek Puspa bukan hanya penyanyi. Ia adalah pencatat zaman. Lebih dari seribu lagu ditulisnya, dari balada cinta, mars perjuangan, hingga lagu anak-anak yang menjadi pembuka pagi generasi 80-an dan 90-an. Ia menulis bukan sekadar menulis, tapi menyulam pengalaman hidup, menyisipkan empati, bahkan kritik sosial.

Lahir dengan nama Sudarwati di Tanjung, Kalimantan Selatan, 1 November 1937, perempuan yang kemudian dikenal juga sebagai Kadarwati ini merantau ke Jakarta membawa suara, tekad, dan rasa ingin tahu. Ia kemudian menjadi Titiek Puspa, nama panggung yang diberikan oleh Presiden Soekarno sendiri.

Ketenarannya bukan hasil dari sensasi. Ia muncul di masa ketika lagu dan lirik bersaing dengan ketulusan. Dan dalam hal itu, Titiek menang mutlak.

“Kupu-Kupu Malam” dan Empati Sosial

“Kupu-Kupu Malam” adalah salah satu lagunya yang paling ikonis—lagu yang menyentuh sisi kemanusiaan dari perempuan yang terpinggirkan. Ia tidak menghakimi. Ia menggambarkan. Lagu itu ditulis dengan sensitivitas yang melampaui zamannya.

Demikian pula lagu “Bing”, yang ia tulis sebagai penghormatan untuk sahabatnya, Bing Slamet. Lagu itu tidak hanya menjadi pengingat atas sosok yang pergi, tapi juga menjelma puisi kehilangan yang universal.

Titiek pernah berjuang melawan kanker. Ia tidak sembunyi. Ia memilih berbagi. Ia menjadi penyintas yang memberi harapan bagi banyak perempuan Indonesia. Di usia senja pun, ia masih tampil, masih menulis, masih menyanyi. Bahkan hingga hari-hari terakhirnya.

Menurut pengamat musik Stanley Tulung, beberapa hari sebelum wafat, Titiek mengalami serangan stroke saat berada di Studio Trans TV. Ia sempat menjalani operasi darurat, dan kondisinya sempat membaik. Doa dari publik pun mengalir deras. Namun Tuhan tampaknya telah menyiapkan panggung abadi bagi perempuan ini.

Kepergian Titiek Puspa menghapus satu bintang di langit seni Indonesia, tetapi jejaknya abadi. Lagu-lagunya akan terus hidup. Di ruang tamu nenek yang mendendangkannya pelan, di festival anak muda yang me-remix lagu-lagunya, di panggung seni yang masih mengenangnya sebagai pelopor.

Ia mungkin telah pergi, tapi suaranya tak akan hilang. Seperti doa yang berulang.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT

ARTIKEL LAINNYA

Populer