MAKLUMAT — Kebakaran yang melanda Kapal Motor (KM) Barcelona di Perairan Gangga, Ahad (20/7/2025), kembali menampar kesadaran kita tentang rapuhnya sistem keselamatan pelayaran nasional. Tiga nyawa melayang, ratusan lainnya dievakuasi dalam kondisi genting. Pada saat yang sama, pencarian terhadap korban tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali yang karam pada 2 Juli lalu masih terus berlangsung, kini memasuki hari ke-19.
Laut Nusantara kembali menagih korban.
KM Barcelona disebut mengangkut 280 penumpang saat api melalap badan kapal. Namun, data evakuasi menyebutkan 568 orang ditemukan selamat dan 3 meninggal dunia. Ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai ketelitian manifest penumpang, transparansi data, dan sistem kontrol di pelabuhan.
Sementara itu, KMP Tunu Pratama Jaya tenggelam akibat kebocoran mesin dan cuaca buruk. Dari total penumpang, 30 orang ditemukan selamat, 19 meninggal dunia, dan sisanya masih dalam pencarian. Dua tragedi besar dalam satu bulan memperlihatkan bahwa keselamatan pelayaran masih jauh dari kata kokoh.
Pasca-insiden di Selat Bali, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melakukan inspeksi terhadap 54 kapal ferry di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Hasilnya mencemaskan: hanya 45 kapal yang dinyatakan laik laut. Kondisi ini bahkan memicu antrean panjang di lintasan Ketapang-Gilimanuk. Fakta tersebut mencerminkan ketimpangan antara standar dan realita operasional kapal.
Pemeriksaan mencakup aspek fundamental seperti sertifikasi keselamatan, kelengkapan peralatan evakuasi, hingga pengedokan berkala. Namun, kita belajar bahwa dokumen tak selalu mencerminkan kesiapan di lapangan. Awak kapal berperan besar dalam memastikan keselamatan, mulai dari pencocokan jumlah penumpang, penyampaian prosedur darurat, hingga pengambilan keputusan saat cuaca buruk.
Hal yang tak kalah penting adalah pemahaman masyarakat sebagai pengguna jasa. Penumpang berhak atas keselamatan, tetapi juga berkewajiban memahami prosedur, tidak panik dalam keadaan darurat, dan mematuhi arahan awak kapal. Keselamatan pelayaran adalah tanggung jawab bersama.
Namun, pengawasan yang seharusnya menjadi fondasi pencegahan justru kerap lemah. Peran Syahbandar dan Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai (PPLP) dalam memverifikasi kelaiklautan kapal, menertibkan pelabuhan, dan menindak pelanggaran harus diperkuat. Tanpa sanksi tegas dan koordinasi antarlembaga yang efektif, upaya perbaikan hanya menjadi formalitas pasca-tragedi.
Langkah korektif yang diambil ASDP—seperti pembatasan kapal, penambahan armada cadangan, dan penataan dermaga—layak diapresiasi. Namun semua itu tetap reaktif. Perubahan tak boleh menunggu jatuhnya korban berikutnya.
Indonesia adalah negara kepulauan. Laut bukan sekadar jalur logistik, melainkan urat nadi kehidupan dan ekonomi rakyat. Setiap pelayaran sejatinya adalah soal hidup dan mati. Karena itu, keselamatan maritim tidak bisa lagi diperlakukan sebagai opsi, melainkan sebagai keharusan.
Tragedi KM Barcelona dan KMP Tunu Pratama Jaya harus menjadi titik balik perbaikan menyeluruh. Pengawasan harus ditegakkan, awak kapal ditingkatkan kompetensinya, dan kapal-kapal yang tidak memenuhi syarat ditarik dari perairan.
Kita tidak butuh belasungkawa. Kita butuh tindakan.
Negara yang membiarkan kelalaian terus berulang sejatinya sedang membangun sistem yang membunuh. Jika tak ada pembenahan menyeluruh, tragedi bukan lagi sekadar musibah—melainkan bentuk kejahatan struktural yang terlegitimasi oleh pembiaran.
Sudah cukup kita menulis berita duka. Kini saatnya menuntaskan tanggung jawab yang selama ini ditunda.***