Tragedi Gaza, Peran Muhammadiyah, dan Jalan Damai yang Adil

Tragedi Gaza, Peran Muhammadiyah, dan Jalan Damai yang Adil

MAKLUMAT — Tragedi di Gaza bukanlah fenomena baru yang muncul dalam sekejap. Apa yang kita saksikan hari ini adalah puncak gunung es dari konflik panjang yang telah berakar lebih dari tujuh dekade. Untuk memahami carut-marut situasi saat ini, terutama bagi dunia Islam, kita perlu menengok kembali sejarah. Bukan semata untuk menyalahkan, melainkan untuk mencari benang merah dan menemukan jalan yang lebih adil ke depan.

Persoalan Palestina-Israel bermula dari dinamika geopolitik pasca-Perang Dunia I. Runtuhnya Kekaisaran Ottoman membuat Palestina berada di bawah Mandat Inggris. Saat itu, Inggris mengeluarkan dua janji kontradiktif: kepada Yahudi melalui Deklarasi Balfour 1917 untuk mendirikan “rumah nasional”, dan kepada bangsa Arab untuk kemerdekaan. Deklarasi ini dibuat tanpa konsultasi dengan penduduk asli Palestina dan menjadi titik balik sejarah yang melahirkan ketegangan.

Penulis: Prof. Sukadiono. Foto:Dok KlikMU

Gelombang imigrasi Yahudi meningkat, memicu konflik dengan penduduk Arab. Pada 1948, setelah Mandat Inggris berakhir dan PBB mengeluarkan resolusi pembagian wilayah, Israel mendeklarasikan kemerdekaannya. Bagi rakyat Palestina, peristiwa itu dikenal sebagai Nakba atau “malapetaka”: ribuan orang terusir dari tanah leluhur dan menjadi pengungsi di berbagai negara. Isu pengungsi sejak saat itu menjadi luka terbuka yang tak kunjung sembuh.

Perang demi perang memperkuat jurang pemisah. Perang Enam Hari 1967 menjadi momen penting lain: Israel menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan, dan Sinai. Pendudukan yang bertentangan dengan hukum internasional itu melahirkan persoalan baru berupa pemukiman ilegal Israel yang terus berkembang hingga kini.Dari perspektif ini, apa yang terjadi di Gaza bukanlah sekadar respons militer, melainkan bagian dari siklus kekerasan yang berulang. Gaza telah lama menjadi “penjara terbuka” akibat blokade ketat, dan kini menjadi simbol penderitaan yang mendalam.

Baca Juga  Netanyahu Ingin "Kuasai Total" Gaza, Sejuta Warga Palestina Digusur!

Sikap Dunia Islam

Sikap dunia Islam terhadap konflik ini tidak tunggal. Sebagian mendukung perlawanan penuh terhadap pendudukan, mengacu pada resolusi PBB yang diabaikan dan hak-hak historis Palestina. Sebagian lain menempuh jalur diplomasi, berupaya mendorong solusi dua negara meski seringkali terhambat oleh realitas lapangan. Perbedaan ini, ditambah kepentingan politik domestik dan regional, membuat suara dunia Islam kurang kohesif.

Sebagai umat yang menjunjung nilai kemanusiaan dan keadilan, kita tak boleh terjebak dalam narasi simplistik. Kekerasan yang menargetkan warga sipil, dari pihak manapun, harus ditolak. Namun penegakan keadilan tidak berhenti pada kutukan. Akar persoalan—pendudukan dan penindasan puluhan tahun—harus diakhiri.

Tanggung jawab kita adalah mengedukasi diri dan masyarakat tentang akar historis konflik ini. Dengan begitu, simpati kita tidak hanya berbasis emosi, tetapi juga pemahaman yang mendalam. Sikap yang konsisten dan efektif hanya bisa lahir dari kesadaran sejarah, sehingga mampu mendorong solusi adil, berkelanjutan, dan sesuai hukum internasional.

Peran Muhammadiyah Menghadapi Kebijakan Pengosongan Gaza

Kebijakan Israel yang berupaya mengosongkan Gaza jelas mengarah pada pemindahan paksa dan genosida—pelanggaran berat hukum humaniter internasional. Muhammadiyah merespons situasi kritis ini tidak hanya dengan seruan retoris, melainkan langkah konkret:

  1. Bantuan Kemanusiaan Jangka Panjang
    Melalui LazisMu, Muhammadiyah tidak hanya mengirim bantuan darurat, tetapi juga merancang program berkelanjutan. Misalnya, penggalangan dana untuk membangun kembali fasilitas kesehatan dan pendidikan yang hancur, serta distribusi pangan dan air bersih secara rutin. Tujuannya bukan sekadar bertahan hidup, tetapi memastikan rakyat Gaza tetap membangun kehidupan di tanah sendiri, menolak narasi pengosongan.

  2. Diplomasi dan Tekanan Politik Global
    Muhammadiyah aktif dalam diplomasi. Mereka mendesak Pemerintah Indonesia mengambil langkah lebih agresif, termasuk kemungkinan sanksi terhadap Israel, dan menekan PBB agar bertindak nyata menghentikan kejahatan perang. Pernyataan resmi Muhammadiyah kerap menjadi rujukan baik di dalam maupun luar negeri.

  3. Kampanye Global Berbasis Data
    Muhammadiyah menginisiasi kampanye literasi publik tentang Palestina, bukan hanya dengan emosi, tetapi juga data dari PBB dan lembaga HAM internasional. Melalui kanal digital, seminar, dan diskusi publik, Muhammadiyah membangun kesadaran kolektif agar tekanan global terhadap Israel semakin kuat.

Baca Juga  Emil Dardak Apresiasi Semangat Ta'awun Muhammadiyah

Dengan ketiga pilar ini, Muhammadiyah menegaskan bahwa sikap atas isu Palestina harus holistik: berbasis empati kemanusiaan, diwujudkan dalam aksi nyata, dan diperkuat pemahaman mendalam.

Refleksi atas Proposal Damai Pasca-KTT PBB

Akhir September 2025, dunia kembali disuguhi proposal damai hasil KTT PBB, diumumkan Donald Trump dan disetujui Benjamin Netanyahu. Rencana 20 poin itu mencakup gencatan senjata, penukaran sandera, penarikan bertahap Israel dari Gaza, hingga pembentukan pemerintahan transisi Palestina yang diawasi komite teknokratis dan “Dewan Perdamaian” internasional.

Sekilas, rancangan ini tampak memberi harapan rekonstruksi Gaza. Namun jika dicermati, ia lebih menegaskan dominasi pihak luar daripada menghadirkan suara rakyat Palestina. Hamas dilarang terlibat, sementara pelucutan senjata dijadikan syarat utama. Solusi ini berpotensi sekadar “mengatur ulang status quo”, tanpa menyentuh akar masalah: pendudukan dan ketidakadilan historis.

Perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi rapuh. Bagaimana mungkin ada perdamaian sejati bila hak rakyat Palestina atas tanah, kedaulatan, dan kebebasan masih diabaikan?

Penutup: Mencari Fondasi Perdamaian Sejati

Umat Islam, termasuk Muhammadiyah, harus menegaskan sikap: menolak “damai timpang” bukan berarti menolak perdamaian. Justru itu upaya memastikan perdamaian berakar pada keadilan. Masa depan Gaza tidak boleh ditentukan rancangan pihak luar yang menafikan sejarah penderitaan rakyatnya. Ia hanya bisa dibangun di atas fondasi kokoh: pengakuan hak asasi, penghentian pendudukan, dan penjaminan martabat hidup setiap manusia di tanah Palestina.

Baca Juga  Indonesia Kirim Bantuan Kemanusiaan untuk Palestina dan Sudan

Hanya dengan cara itu badai kemanusiaan ini dapat benar-benar reda, memberi jalan bagi cahaya perdamaian sejati.

*) Artikel ini sudah naik di PWMU.Co

*) Penulis: Prof Sukadiono
Ketua PWM Jatim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *