MAKLUMAT – Maraknya judi online (Judol) kian meresahkan banyak pihak. Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur Dedi Irwansa mengungkapkan, fenomena itu terjadi akibat mudahnya masyarakat mengakses situs judol. Di samping itu, masyarakat juga mudah tergiur dengan fantasi palsu (iming-iming) tentang keuntungan yang berlipat ganda.
“Keseriusan pemerintah baik di tingkat eksekutif, legislatif hingga yudikatif tengah diuji dalam menangani judol. Termasuk perlu adanya kerjasama pentahelix antara pemerintah, perguruan tinggi, tokoh masyarakat hingga edukasi di media massa,” katanya, Senin (11/11/2024).
Dedi menegaskan, kerja sama pentahelix penting dilakukan mengingat Jawa Timur menduduki peringkat ke-4 dalam daftar provinsi dengan transaksi judol terbanyak. Di mana nilai transaksinya mencapai Rp 1,05 triliun.
“Judol ini seperti wabah yang sudah menjangkit di kalangan masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. Hampir setiap hari kita mendengar berita penangkapan judol,” jelasnya.
Politisi Partai Demokrat itu mengungkapkan, di samping upaya penindakan hukum yang telah dilakukan aparat Kepolisian, juga diperlukan langkah pencegahan yang maksimal.
Salah satunya, kata dia, dengan meningkatkan peran Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Jatim dalam melakukan patroli cyber dan penguatan literasi digital di masyarakat.
“Kominfo dan Polda Jatim adalah satgas judol yang telah dibentuk Pemprov Jatim. Peran satgas ini harus didukung lebih kuat baik dari infrastruktur program maupun kerjasama lintas sektor,” tegasnya.
Dedi juga meminta agar pemberantasan judol tidak hanya dilakukan oleh Dinas Kominfo saja, namun semua OPD di Pemprov Jatim juga harus mengambil peran kuat.
Disebutkan, Dinas Pendidikan Jatim misalnya, bisa bersentuhan langsung dengan peserta didik. Kemudian Bakesbangpol yang memiliki koneksi dengan simpul kelompok masyarakat dan tokoh lintas agama.
“Badan Riset Daerah yang mestinya dapat memperkuat kerjasama dengan perguruan tinggi baik dalam membuat kajian strategis maupun penelitian ilmiah terkait kecenderungan pelaku judol,” pintanya.
Dedi memaparkan, data PPATK menunjukkan praktik judol telah dijalankan oleh anak usia 10 tahun. Sementara, 40 persen pelaku dalam rentang usia 30-50 tahun. “Ini usia-usia produktif yang seharusnya mereka lebih sibuk berkarya, bukan ngeslot di warkop-warkop,” ungkapnya.
Dedi berharap peran-peran serta organisasi perempuan seperti PKK, Dharmawanita, Muslimat NU hingga Aisyiyah dilibatkan secara maksimal. Sebab, praktik judol ini sangat erat dengan kerentanan keluarga.
“Sudah jamak ceritanya, ketika sudah terpapar judol sampai aset-aset berharga ikut jadi modal taruhan, gaji dipakai top up, bahkan yang dapat bansos pun dipakai ngeslot. Maka polisi yang paling terdepan sesungguhnya bukan yang berseragam coklat, tapi istri atau para ibu yang harus melakukan pengawasan dan pencegahan,” terangnya.
“Jadi ini problem serius, patroli cyber Kominfo dan penangkapan pelaku saja tidak cukup. Perlu edukasi dan pendekatan kultural maupun spiritual yang masif oleh semua pihak,” pungkasnya.