MAKLUMAT — Tuntutan hidup yang semakin tinggi memaksa sejumlah pekerja perempuan di Kota Surabaya terus bekerja meski jam kerja telah usai. Ketika seharusnya bisa beristirahat, mereka justru masih berjibaku dengan tugas-tugas yang tak kunjung selesai.
Mereka tetap harus bekerja lebih dari yang semestinya. Bekerja melebihi jam kerja tanpa kompensasi yang layak. Tak jarang bahkan tanpa waktu istirahat yang cukup. Namun itu semua harus dilakukan, sebab memang tak banyak pilihan.
Gina (nama samaran), seorang karyawan di sebuah usaha penjualan souvenir menceritakan pengalamannya selama bekerja di Kota Surabaya. Baginya, tidak pernah benar-benar ada hari libur di kehidupannya saat ini.
Menurut perjanjian kerja yang disepakati, tugasnya adalah mengoordinasikan produksi. Posisinya ini membuatnya menjadi jembatan utama antara tempatnya bekerja dan para penyuplai produk.
Jam kerja formalnya dimulai pukul 09.00 pagi dan seharusnya berakhir pada pukul 17.00 sore hari. Meski demikian, kenyataannya ia kerap harus terus memantau WhatsApp. Bahkan hingga larut malam sekalipun.
“Koordinasi produksi semua jatuh ke saya, malam-malam pun masih harus aktif mengecek WhatsApp. Kadang ngerasa stres juga. Soalnya ya itu tadi, di luar jam kerja,” ujarnya kepada Jurnalis Maklumat.id pada Kamis, (22/5/2025).
Komunikasi yang intens bahkan terus berlangsung ketika ia sudah di rumah. Atasan Gina sering menelepon atau mengirim pesan di luar jam kerja hanya untuk memastikan bahwa proses produksi berjalan lancar.
Namun alih-alih menghargai waktu pribadi sebagai hak pekerja, pekerjaan di luar jam itu dianggap sebagai ‘kewajiban’ yang harus dituntaskan. “Tidak ada uang lembur. Kalau ditanya kok kenapa belum selesai, ya saya dianggapnya belum menyelesaikan tanggung jawab,” tambahnya.
Jam kerja yang ia jalani jelas melampaui ketentuan dalam Perppu Cipta Kerja. Regulasi tersebut merekomendasikan waktu kerja maksimal 7 jam per hari atau 40 jam per minggu bagi pekerja dengan sistem enam hari kerja.
Namun dalam praktiknya, Gina kerap bekerja jauh di luar jam tersebut. Komunikasi pekerjaan masih terus berlangsung hingga malam hari tanpa tambahan upah lembur, seolah menjadi bagian dari tanggung jawab yang harus diterima begitu saja.
Perempuan yang masih lajang tersebut menuturkan bahwa sejak bekerja, ia hampir tak pernah benar-benar punya waktu untuk dirinya sendiri. “Kadang mau nonton film, tapi belum sampai separuh sudah ada WhatsApp dari atasan,” ceritanya.
Nasib tak jauh berbeda dialami oleh Dina (juga nama samaran), seorang customer service yang bekerja di kota yang sama. Ia dituntut untuk selalu siaga merespons pertanyaan hingga pelanggan melalui WhatsApp hingga Instagram.
“Ya awalnya, saya kira akan bekerja dengan waktu normal. Lama-lama ya diberi tugas-tugas tambahan. Pernah sempat ada yang protes, tapi kata bos kami, ‘ya kalau tidak mau tidak apa-apa, kita cari orang baru’,” ceritanya.
Dina menambahkan bahwa di perjanjian kerja, awalnya tidak ada keterangan bahwa beban kerjanya akan sampai seperti ini. Namun lama-kelamaan, tuntutan pekerjaan perlahan ditambahkan tanpa diringi kesepakatan.
“Jujur saja, capek. Meski begitu, ya tidak ada pilihan. Sementara ini, ya cuma ini satu-satunya pekerjaan yang bisa saya dapat sekarang untuk bertahan hidup,” katanya saat ditemui pada Jum’at (23/5/2025).
Saat Dina terlambat membalas pesan pelanggan yang masuk di malam hari dan berujung pada batalnya transaksi, ia kerap mendapat sindiran dari atasannya. Ia dianggap telah melewatkan peluang penjualan.
Padahal saat itu ia tengah mengerjakan pekerjaan rumah di kos. “Ya kan saya lagi mencuci baju, di luar jam kerja juga padahal,” imbuhnya.
Tekanan yang dirasakan Dina bukan hanya soal waktu. Sebab ia juga memikul beban sebagai tulang punggung keluarga. Setiap bulan, sebagian gajinya dikirim untuk orang tuanya di desa.
“Saya enggak bisa apa-apa. Mau resign pun bingung, karena belum ada yang lebih baik,” ujarnya sembari membalas satu per satu pertanyaan pelangan melalui ponselnya.
Dina sendiri telah mencoba berbagai lowongan pekerjaan. Sampai hari ini, hasilnya masih nihil. Beberapa sempat sampai tahap wawancara, namun beban kerja dan gajinya tidak jauh berbeda dengan apa yang didapatnya hari ini.
“Sering menangis kalau malam, tapi ya harus dijalani kan. Seperti hampir tidak ada waktu luang gitu. Sabtu-Minggu libur sih, tapi ya tetap diminta stand by,” imbuh perempuan yang juga masih lajang tersebut.
Pekerjaan yang seolah tak mengenal waktu dan tanpa kompensasi yang layak menjadi beban psikologis tersendiri. Namun bagi beberapa pekerja, realitas ekonomi membuat mereka mau tak mau harus terus bertahan hidup.***