
MAKLUMAT — Suasana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (15/4/2025), terasa lebih padat dari biasanya. Tiga orang dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA)—Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dokter Tifa—datang ke kampus bukan untuk belajar, melainkan untuk mempertanyakan sesuatu yang telah lama mengundang polemik di ruang publik: keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kunjungan dilakukan melalui jalur resmi. Mereka tidak datang sembunyi-sembunyi, tetapi melakukan audiensi dengan jajaran pimpinan universitas. Pertemuan digelar di ruang tertutup dan dijaga dengan pengamanan ketat.
Hadir dalam pertemuan tersebut Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran Wening Udasmoro, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat dan Alumni Arie Sujito, Sekretaris Universitas Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, Dekan Fakultas Kehutanan Sigit Sunarta, dan Ketua Senat Fakultas Kehutanan San Afri Awang.
Pertanyaan utama dalam pertemuan itu lugas: apakah benar Presiden Jokowi merupakan lulusan Fakultas Kehutanan UGM?
Pihak universitas tidak bertele-tele. “Beliau adalah alumnus Fakultas Kehutanan UGM,” kata Sekretaris Universitas Andi Sandi dalam keterangan tertulis usai pertemuan, Selasa (15/4/2025). Jokowi, lanjutnya, tercatat sebagai mahasiswa sejak tahun 1980 dengan nomor induk mahasiswa 80/34416/KT/1681 dan resmi diwisuda pada 5 November 1985.
Meski pertemuan berlangsung dalam suasana tenang, ketegangan tetap terasa. TPUA dikenal sebagai kelompok yang aktif menggugat keabsahan dokumen sejumlah pejabat publik. Namun, dalam kasus ini, UGM memilih bersikap hati-hati. “Kami tidak memiliki konflik kepentingan. Kami hanya menyampaikan fakta,” tegas Andi.
UGM juga menegaskan bahwa sebagai institusi pendidikan, mereka tunduk pada hukum. Mereka menyatakan tetap memegang prinsip keterbukaan informasi publik, tetapi dengan batasan ketat pada data pribadi mahasiswa. Informasi detail, seperti dokumen akademik, hanya bisa diakses oleh aparat penegak hukum melalui prosedur resmi.

Penjelasan akademik
Isu keaslian ijazah Jokowi mencuat kembali setelah Rismon Sianipar menyampaikan tuduhan bahwa skripsi Presiden palsu, hanya karena ia menilai font “Times New Roman” belum digunakan pada era 1980-an. Tuduhan itu mendapat tanggapan tegas dari pihak kampus.
Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, menyebut klaim Rismon tidak berdasar dan tidak dibarengi dengan bukti ilmiah. Ia menyayangkan sikap Rismon, seorang akademisi sekaligus alumni UGM sendiri.
“Sebagai akademisi, seharusnya ia menggunakan metode penelitian yang valid, bukan menyimpulkan hanya dari satu dokumen,” ujar Sigit, 21 Maret 2025.
Ia menjelaskan bahwa font seperti Times New Roman telah digunakan sejak awal 1980-an di percetakan sekitar kampus, seperti Prima dan Sanur. “Skripsi Pak Jokowi diketik manual, tetapi lembar pengesahan dan sampulnya dicetak. Itu umum saat itu,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Senat Fakultas Kehutanan UGM, San Afri Awang, turut menyanggah tudingan Rismon. Ia bahkan mengaku pernah mencetak sampul skripsi di percetakan yang sama dengan Jokowi. “Font serupa Times New Roman sudah digunakan sejak dulu. Bahkan saat itu sudah ada komputer IBM untuk pengolahan data,” katanya.
Tak hanya dari kalangan dosen, rekan seangkatan Jokowi di UGM juga ikut bersuara. Frono Jiwo, teman sekelas Jokowi, memastikan bahwa ijazah miliknya memiliki format dan tanda tangan yang sama. “Kami masuk tahun 1980, lulus 1985, wisuda bareng. Formatnya sama,” ujarnya.
Frono juga menggambarkan sosok Jokowi sebagai mahasiswa pendiam, tapi gemar naik gunung. “Dia pendiam, tapi suka bercanda. Pendaki sejati,” katanya.
Dari sisi hukum, Guru Besar Hukum Pidana UGM, Marcus Priyo Gunarto, menilai tuduhan pemalsuan ijazah terhadap Jokowi tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ia menyatakan bahwa dokumen akademik Jokowi tidak memenuhi unsur pemalsuan.
“Jika Jokowi memang kuliah, ujian, dan wisuda, maka tidak ada alasan menyebut dokumennya palsu. Semua data pendukung lengkap,” ujar Marcus.
Ia menambahkan, tuduhan bahwa UGM terlibat dalam upaya melindungi Jokowi dinilai sebagai bentuk disinformasi. “Tidak masuk akal UGM mempertaruhkan reputasinya hanya untuk satu orang,” tegasnya.