Ulama Muhammadiyah: Antara Krisis Kaderisasi dan Rendahnya Sikap Takzim

Ulama Muhammadiyah: Antara Krisis Kaderisasi dan Rendahnya Sikap Takzim

MAKLUMAT — Keberadaan ulama dalam tubuh Muhammadiyah semakin terasa menipis. Sosok yang tidak hanya menguasai ilmu agama secara mendalam, tetapi juga terlibat langsung dalam persoalan umat sehari-hari, kini menjadi sesuatu yang langka.

Dalam terminologi kemuhammadiyahan, keulamaan sering kali tereduksi menjadi ranah akademik formal. Akibatnya, ulama tampil sekadar sebagai figur ilmiah, bukan sebagai pembimbing spiritual yang hadir di tengah masyarakat.

Qosdus Sabil.
Qosdus Sabil.

Ulama Muhammadiyah yang aktif dalam dakwah lapangan seolah hilang perlahan. Mereka tertinggal oleh model dakwah kultural dan pendekatan kekinian yang memanfaatkan media massa dan media sosial. Di ruang publik digital, suara Muhammadiyah tidak selalu terdengar dalam ritme yang kuat dan terarah.

Pertumbuhan pesantren Muhammadiyah sebenarnya cukup menggembirakan. Namun, pertumbuhan tersebut belum sejalan dengan komitmen mencetak kader ulama. Hanya sedikit santri yang memiliki orientasi melanjutkan studi mendalam pada ilmu-ilmu keagamaan.

Di sisi lain, Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) belum menunjukkan perhatian proporsional dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. PUTM belum menjadi institusi prioritas bagi lahirnya kader ulama. Ia masih berada di bawah naungan kampus-kampus seperti Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), atau Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)—bukan sebagai lembaga mandiri yang bergengsi.

Padahal, jika ada kemauan besar, bukan hal sulit bagi organisasi sebesar Muhammadiyah untuk membangun gedung PUTM yang representatif, memberikan dukungan finansial layak bagi para dosennya, dan menyiapkan kurikulum yang kokoh.

Baca Juga  Memaafkan Kunci Terwujudnya Harapan Anak Bangsa

Saat membuka CRM Award VI di Masjid Al-Jihad Banjarmasin, Dahlan Rais mengingatkan bahwa warga Muhammadiyah tidak patut berbangga dengan label organisasi besar dan kaya, jika para guru—dan dosennya—masih hidup dengan kesejahteraan yang terbatas. Pesan itu sederhana tetapi menyentuh akar persoalan persyarikatan saat ini.

Rendahnya Sikap Takzim

Budaya takzim terhadap ulama juga menjadi tantangan lain. Di banyak tempat, jamaah Muhammadiyah tampak sangat rasional, efisien, dan datar dalam ekspresi penghormatan kepada sosok kiai. Sikap ini tentu berbeda dengan sebagian komunitas muslim lain yang bahkan kadang berlebihan dalam takzim kepada gurunya.

Penguatan Figur Ketua Umum

Setelah masa KH. Ahmad Azhar Basyir, karakter pemimpin Muhammadiyah lebih banyak menampilkan figur cendekiawan daripada kiai. Sesungguhnya dikotomi itu tidak perlu: kecendekiawanan yang matang justru seharusnya berujung pada keulamaan yang mengakar.

Namun akan menjadi ironi ketika ketua umum sebuah organisasi Islam sebesar Muhammadiyah masih sering keliru dalam mengutip ayat, atau membutuhkan penerjemah untuk berdialog dengan tokoh gerakan Islam internasional. Pada titik ini, nama besar Muhammadiyah tentu sedang dipertaruhkan.

Karena itu, pada Muktamar mendatang, perlu dipertimbangkan syarat tambahan bagi calon Ketua Umum: kemampuan Bahasa Arab aktif, baik lisan maupun tulisan. Ini bukan elitisme, melainkan kebutuhan dasar agar kehormatan intelektual dan marwah persyarikatan tetap terjaga.

Keresahan ini lahir bukan untuk mencela atau mencurigai. Ia adalah suara para pemerhati yang berharap Muhammadiyah tetap melahirkan tokoh-tokoh terbaiknya.

Baca Juga  Kontroversi Dana Zakat untuk Makan Bergizi Gratis: Solusi atau Masalah Baru?

Internasionalisasi gerakan Muhammadiyah tidak bisa dihindari. Pertanyaannya hanya satu: apakah kita telah menyiapkan generasi tokoh ulama yang siap memikul tugas peradaban itu?

Ciputat, 6 Jumadil Akhir 1447 / 27 November 2025

*) Penulis: Qosdus Sabil
Anggota Majelis Lingkungan Hidup (MLH) PP Muhammadiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *