MAKLUMAT — Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pernah menggadaikan perabot rumahnya demi membiayai sekolah karena kesulitan likuiditas. Sebagai ulama, Mujaddid besar pada paruh pertama abad ke-20 sekaligus saudagar batik, beliau tetap hidup bersahaja.
Pak AR Fakhruddin, imam besar Muhammadiyah selama empat setengah periode, bukan sahabat Nabi maupun tabi’in, dan juga bukan ulama karomah. Tidak ada haul pada hari wafatnya, karena beliau memang tidak bisa mengabulkan hajat atau mempercepat ijabah doa warga Muhammadiyah.
Meski Muhammadiyah termasuk salah satu organisasi terkaya di dunia, beliau tetap sederhana. Hingga wafat, beliau tak punya rumah sendiri dan menumpang di rumah milik Muhammadiyah yang kemudian dikembalikan setelah tidak menjabat.
Puluhan juta pengikut, ratusan ribu santri, siswa perguruan, dan mahasiswa tidak membuat ulama Muhammadiyah hidup glamour. Mereka tidak menjadikan umat sebagai subordinasi, alat produksi uang, atau materi lainnya, apalagi sanjung puji.
Ulama Muhammadiyah hidup bersahaja: menjual bensin eceran, berjalan kaki, naik angkot atau bus umum bila berkunjung ke daerah, dan memilih menginap di rumah pimpinan cabang atau jamaah, bukan hotel mewah.
Kesahajaan ulama Muhammadiyah telah teruji, bukan dibuat-buat atau karena terpaksa. Kesederhanaan ini menjadi bagian keseharian mereka.
Buya Syafii Maarif, salah satu Ketua PP Muhammadiyah dan guru bangsa, meski berpikiran besar dan melintas batas, tetap menjadi ‘loper’ majalah Suara Muhammadiyah, profesi yang digeluti sejak muda hingga ajal menjemput.
Prof. Malik Fadjar, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, penggagas kampus terpadu dan pembaharuan perguruan tinggi Islam di Indonesia, bahkan dikenal berjalan dengan kaus kaki berlubang hingga ujung jempol terlihat, tutur sahabatnya sambil menitikkan air mata.
Kesahajaan ulama Muhammadiyah tidak hanya terlihat pada urusan dunia, tetapi juga akhirat. Tidak ada kemewahan saat wafat; mereka dirawat dan didoakan seperti jamaah biasa. Tidak ada haul, kisah karomah, atau mukjizat yang dilaporkan. Makam mereka sederhana, tanpa atap, kehujanan dan kepanasan.
Sikap ini mengingatkan kita pada Sayyidatina Fatimah az-Zahra, putri kesayangan Nabi saw., ahli surga tanpa dihisab. Tangan beliau kasar karena mengerjakan pekerjaan rumah sendiri tanpa pembantu. Nabi saw. pun tidur dengan bekas pelepah kurma sebagai alas. Kesahajaan mereka nyata dan tetap menjadi teladan di tengah kemewahan yang dipamerkan.
Untuk para ulama Muhammadiyah:
Lahumul Faatihah…