MAKLUMAT – Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, masih bergulat dengan dua persoalan mendasar: stunting dan kemiskinan ekstrem. Angka prevalensi stunting di wilayah ini tergolong tinggi.
Secara geografis, hampir setengah juta penduduk tersebar di 32 kecamatan dan 266 desa harus berhadapan dengan keterbatasan pangan, pendidikan, dan layanan kesehatan.
Di tengah kondisi itu, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) hadir dengan tekad membawa perubahan. Sejak 1 Oktober 2025, UMM menggulirkan lebih dari 25 program pengabdian masyarakat yang menyasar langsung warga TTS. Fokusnya jelas: menurunkan angka stunting sekaligus mengurangi kemiskinan ekstrem.
“Daerah kami memang masih menghadapi banyak tantangan. Stunting dan kemiskinan menjadi dua masalah utama. Jadi, kedatangan tim profesor dan pakar dari UMM menjadi warna baru untuk mengatasi masalah ini,” kata Seperius Edison Sipa, Sekretaris Daerah TTS, saat menyambut rombongan UMM.
Ia menegaskan dukungan penuh pemerintah daerah agar program bisa berjalan efektif lewat dinas-dinas terkait.
Kampus Berdampak
Langkah UMM di TTS bukan sekadar seremonial. Dr. Salahudin, S.IP., M.Si., M.P.A., Kepala Biro Riset, Pengabdian, dan Kerja Sama UMM, menjelaskan bahwa lebih dari 75 tim profesor, doktor, pakar, dan dosen dilibatkan.
Mereka bergerak di lima sektor utama: kesehatan, sosial dan pemberdayaan komunitas, pertanian-peternakan, pendidikan, dan pangan.
“Ini cara UMM menguatkan diri sebagai kampus berdampak. Tidak hanya di Jawa, tetapi juga di wilayah-wilayah lain yang membutuhkan. Salah satunya di NTT,” ujarnya.
Menurutnya, pendekatan lintas sektor sangat penting, karena stunting tidak hanya berkaitan dengan gizi, melainkan juga pola asuh, sanitasi, pendidikan, hingga akses ekonomi masyarakat.
Stunting sebagai Prioritas
Program-program UMM di TTS diarahkan untuk menjawab persoalan dari akar. Pelatihan pertanian dan peternakan, harapannya mendorong keluarga mampu menghasilkan pangan bergizi sendiri.
Pendidikan kesehatan masyarakat dilakukan untuk mengubah pola makan dan perawatan anak. Sementara sektor sosial, untuk memberdayakan komunitas, sehingga masyarakat tak hanya menjadi penerima bantuan, tetapi juga aktor dalam perubahan.
Rektor UMM, Prof. Dr. Nazaruddin Malik, M.Si., menekankan pentingnya menebar manfaat konkret bagi masyarakat. “UMM terus mendorong profesor untuk memberikan dampak. Tidak hanya berhenti pada pemikiran, tapi benar-benar memberi manfaat kepada masyarakat. Baik dalam bentuk produk maupun skema program,” katanya.
Ia menambahkan, UMM kini memiliki Direktorat Saintek yang bertugas menghilirisasi hasil riset dosen dan mahasiswa. Dengan begitu, penelitian tidak berhenti di jurnal akademik, tetapi melahirkan inovasi yang langsung memberi solusi atas persoalan riil, termasuk stunting.
Menyentuh Prioritas Nasional
Langkah UMM di TTS sejalan dengan tujuan prioritas nasional: menurunkan angka stunting dan kemiskinan ekstrem hingga level minimal pada 2025–2026. Dengan basis akademik dan dukungan riset, UMM mencoba menutup celah yang kerap tertinggal oleh kebijakan pemerintah: implementasi di lapangan.
Stunting, kerap menjadi “silent crisis”, tidak hanya soal tinggi badan anak di bawah standar, tetapi juga menyangkut masa depan generasi. Anak yang mengalami stunting berisiko lebih besar terhadap gangguan kognitif, penurunan produktivitas, hingga lingkaran kemiskinan yang berulang.
Di titik ini, kehadiran UMM di NTT bukan hanya wujud pengabdian, melainkan investasi sosial jangka panjang. Membantu sebuah daerah keluar dari jerat stunting berarti menyelamatkan masa depan generasi, sekaligus memperkuat fondasi pembangunan di kawasan timur Indonesia.