
MAKLUMAT — Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) kembali menambah daftar guru besarnya. Dua dosen resmi dikukuhkan sebagai guru besar dalam upacara yang digelar pada Senin (21/4/2025) di Gedung AR Fachruddin B Lantai 5, Kampus Terpadu UMY.
Dua akademisi yang dikukuhkan yakni Prof. Dr. Sidik Jatmika, M.Si sebagai Guru Besar dalam bidang Keamanan Manusia, dan Prof. Dr. Nur Azizah, M.Si sebagai Guru Besar Ilmu Gender dan Politik.
Dalam pidato ilmiahnya, Prof. Sidik menyoroti pentingnya diplomasi keamanan manusia (human security diplomacy) yang berkembang pesat sejak dekade 1990-an. Konsep ini, menurutnya, menempatkan perlindungan terhadap kelompok rentan sebagai prioritas utama dalam kebijakan global.
“Keamanan manusia menjadi paradigma baru yang mencakup tujuh aspek, yakni keamanan ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, pribadi, masyarakat, dan politik. Kerentanan kelompok minoritas tak jarang dipicu oleh prasangka sosial maupun gender,” ujar Sidik.
Ia juga menegaskan bahwa dunia politik global saat ini masih seperti rimba raya yang menjunjung prinsip “yang kuat, yang menang”. Oleh sebab itu, pendekatan keamanan manusia dinilai relevan dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih adil.
Prof. Sidik turut menyoroti peran Muhammadiyah dalam skema internasionalisasi gerakan Islam. Ia menyebut Muhammadiyah sebagai “new Islamic transnational social movement” yang aktif menjalankan misi kemanusiaan di berbagai negara, seperti Palestina, Filipina, Pakistan, dan Myanmar.
“Penghargaan Zayed Award for Human Fraternity yang diraih Muhammadiyah tahun 2024 menjadi bukti pengakuan dunia terhadap kontribusi Muhammadiyah dalam membangun nilai kemanusiaan, toleransi, dan kerukunan,” ujarnya.
Maskulinitas dan Feminitas
Sementara itu, Prof. Nur Azizah dalam orasi ilmiahnya mengangkat tema tentang maskulinitas dan feminitas dalam praktik politik internasional. Ia mengkritisi dominasi laki-laki dalam ranah diplomasi yang berdampak pada terbentuknya paradigma maskulin dalam teori dan praktik hubungan internasional.
“Contoh nyata adalah tindakan agresif Israel terhadap Palestina di bawah kepemimpinan Netanyahu, yang mencerminkan dominasi maskulinitas dalam politik luar negeri,” katanya.
Meski demikian, ia menilai Indonesia mulai menunjukkan arah baru yang lebih inklusif. Melalui kepemimpinan Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri, diplomasi Indonesia dinilai mengadopsi pendekatan yang mencerminkan nilai-nilai feminitas, seperti empati, kerja sama, dan pemberdayaan kelompok rentan.
“Meski belum secara resmi mengadopsi kebijakan luar negeri feminis (feminist foreign policy), prinsip-prinsip kesetaraan gender sudah mulai diintegrasikan ke dalam praktik diplomasi Indonesia,” ujar Nur Azizah.
Ia menambahkan, sejumlah negara telah menerapkan kebijakan luar negeri feminis yang tidak hanya menitikberatkan pada aspek kedaulatan negara, tetapi juga melindungi individu dari kekerasan berbasis gender serta diskriminasi terhadap kelompok marjinal.
Dengan penambahan dua guru besar ini, UMY kini memiliki total 48 guru besar aktif yang berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat.***