Urgensi Label Halal di Tengah Gempuran Produk Global

Urgensi Label Halal di Tengah Gempuran Produk Global

MAKLUMAT – Pusat Studi Penelitian dan Pengembangan Produk Halal (PS.P3-Halal) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tak henti menggaungkan pentingnya sertifikasi halal. Bagi lembaga ini, halal bukan kewajiban religius umat Islam, melainkan bentuk perlindungan konsumen serta standar kualitas yang tak bisa dinegosiasikan.

Ketua PS.P3-Halal UMM, Prof. Dr. Ir. Elfi Anis Saati, MP, memaparkan urgensi sertifikasi halal sangat penting sebagai konsep thayyib yang relevan untuk umat Muslim. Sebab, keduanya memberikan manfaat yang universal.

“Produk yang telah melalui proses sertifikasi halal umumnya lebih higienis, bergizi, dan menjaga mutu secara berkelanjutan. Produk halal juga memudahkan distribusi, termasuk untuk pasar ekspor yang menuntut kepastian standar,” ujar Elfi, sapaannya.

Peran Pemerintah Sosialisasi Produk Halal

Pemerintah RI perlu mendorong sertifikasi halal sebagai standar perlindungan konsumen melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Regulasi ini mewajibkan semua produk makanan dan minuman bersertifikat halal paling lambat Oktober 2026. Di mana Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) merupakan lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikat ini.

Menurut Elfi, negara perlu hadir secara aktif dalam proses ini. “Sertifikasi halal menjadi instrumen penting untuk membangun kepercayaan, bukan hanya dari konsumen domestik tapi juga global,” tegasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya efisiensi dalam proses sertifikasi. Sejauh ini sertifikasi halal lebih efisien dan strategis dari labelisasi haram. Terutama dari sisi waktu, biaya, maupun tenaga. “Sertifikasi haram bisa memicu stigma negatif,” Elfi menegaskan.

Baca Lainnya  Kisah Dosen UMM yang Geluti Studi Keagamaan di Budapest

Dua Jalur Layanan Sertifikasi

Saat ini, terdapat dua skema utama dalam proses sertifikasi halal di Indonesia, yakni jalur self-declare dan jalur reguler. Jalur self-declare fokusnya adalah pelaku usaha mikro dan kecil (UMKM).

Produk dari UMKM tidak memiliki kritis tinggi, seperti produk non-daging dan non-alkohol. Sementara jalur reguler prioritasnya industri besar, rumah makan, hotel, hingga lembaga layanan publik.

“Seluruh proses, dari pendaftaran melalui sistem SiHalal, audit dari auditor halal, hingga sidang Komisi Fatwa, dilakukan secara cermat,” jelas Elfi. Khusus bagi UMKM yang memilih jalur self-declare, prosesnya dibantu Pendamping Proses Produk Halal (PPH).

Pentingnya Pelaku Usaha Jemput Bola

Tak berhenti di titik sertifikasi, pelaku usaha juga wajib melaporkan penerapan standar halal secara berkala tiap enam bulan. Kewajiban ini berlaku jika terjadi perubahan bahan baku atau metode produksi. Langkah ini, menurut Elfi, penting untuk menjaga konsistensi dan transparansi dalam jaminan halal.

Lebih dari sekadar label, halal adalah soal value. Dalam bahasa Arab, kata “halal” berasal dari ‘halla’, yang artinya bebas dari dosa. Produk halal harus bebas dari unsur najis dan bahan haram. Baik bahan baku, proses produksi, hingga pemakaian alat. “Halal adalah bentuk tanggung jawab dan kejujuran produsen terhadap konsumennya,” kata Elfi.

Ia dan lembaganya, akan terus mendorong peningkatan literasi halal sejak dini. Pendidikan, pelatihan, hingga sertifikasi kompetensi di bidang halal menjadi bagian dari ekosistem yang harus kuat. Misalnya,  bahan baku lokal dan promosi produk dalam negeri, juga bagian dari strategi memperkuat industri halal.

Baca Lainnya  Makin Memanas Saling Balas, AS Naikkan Tarif Impor Jadi 104%, China Patok 84%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *