MAKLUMAT –Amnesty International Indonesia mendesak aparat kepolisian menghentikan praktik otoriter dalam menangani aksi unjuk rasa yang berujung jatuhnya korban jiwa. Hingga kemarin, tercatat sepuluh warga meninggal dunia. Selain itu, sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM) juga ditangkap di berbagai daerah.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan bahwa negara justru memilih jalur represif ketimbang dialog. “Kami menyesalkan bertambahnya jumlah kematian terkait unjuk rasa pekan lalu, begitu pula dengan penangkapan Delpedro Marhaen di Jakarta, Khariq Anhar di Banten, Syahdan Husein di Bali, dan dua pendamping hukum dari YLBHI di Manado serta Samarinda. Ini semua menunjukkan pendekatan otoriter yang harus dihentikan. Bebaskanlah mereka,” tegas Usman dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (2/9/2025).
Usman juga mengecam keras penembakan gas air mata ke arah kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas). Kedua kampus itu dipakai sebagai posko medis dan tempat perlindungan massa aksi. “Gas air mata berlebihan membahayakan keselamatan warga sipil. Ingat tragedi Kanjuruhan, penggunaan gas air mata bisa berakibat fatal,” ujarnya.
Amnesty menilai, tindakan represif polisi hanya memperparah eskalasi. Negara semestinya mengedepankan pemolisian demokratis dengan cara persuasif dan dialogis. Usman juga menekankan pentingnya investigasi independen atas kematian sepuluh warga selama aksi unjuk rasa. “Komnas HAM harus segera melakukan penyelidikan pro justitia. Negara wajib memastikan siapa pun yang bertanggung jawab atas kematian ini diadili,” katanya.
Sementara itu, penangkapan aktivis masih menuai sorotan. Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, ditangkap paksa oleh delapan aparat Polda Metro Jaya di rumah sekaligus kantor Lokataru, Jakarta Timur, Senin malam (1/9). Polisi juga menggeledah ruang kantor tanpa surat resmi dan merusak kamera CCTV.
Delpedro dijadikan tersangka dengan jeratan sejumlah pasal, mulai Pasal 160 KUHP tentang penghasutan hingga Pasal 28 ayat (3) UU ITE. Penangkapan serupa menimpa Khariq Anhar, mahasiswa Universitas Riau, di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, pada 29 Agustus. Khariq disebut dijerat UU ITE lantaran unggahan akun “Aliansi Mahasiswa Penggugat” di media sosial.
Pam Swakarsa
Di Bali, aktivis Syahdan Husein juga dilaporkan ditangkap, meski Polda Bali membantah kabar tersebut. Dua pendamping hukum dari YLBHI di Manado dan Samarinda pun sempat diamankan saat mendampingi massa aksi.
Di sisi lain, muncul gejala pengerahan Pam Swakarsa. Organisasi masyarakat seperti Generasi Muda FKPPI sudah menyatakan siap turun. Amnesty menilai hal ini berpotensi memicu konflik horizontal di masyarakat.
Usman menambahkan, pemerintah seharusnya tidak melabeli pengunjuk rasa sebagai “anarkis”, “makar” atau “teroris”. “Pelabelan semacam ini justru melegitimasi penggunaan kekuatan represif dan eksesif. Negara seharusnya hadir secara manusiawi, mendengarkan tuntutan warga, bukan menutup telinga dengan slogan,” pungkasnya.***