
MAKLUMAT – Anggota Komisi B DPRD Provinsi Jawa Timur, Khusnul Khuluk, mempertanyakan mengapa pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) baru mengklarifikasi kasus temuan ladang ganja di wilayah tersebut, padahal kejadian itu telah terjadi pada 18-21 September 2024 lalu.
Seperti diketahui, pihak TNBTS pada Selasa (18/3/2025) telah mengunggah sebuah video klarifikasi lewat akun instagramnya, yang menjelaskan soal temuan tanaman ganja, larangan penggunaan drone, hingga kewajiban menggunakan pemandu, serta lain sebagainya.
“Kenapa baru sekarang ada klarifikasi? Kejadian ini kan sudah lama, hampir setengah tahun berlalu sejak ditemukan oleh Polres dan TNI Lumajang,” tanya Khusnul, seperti dikutip Fraksi PKS Jatim, Kamis (20/3/2025).
“Ada sekitar 48.000 tanaman ganja yang ditemukan di Dusun Pusung Duwur, tapi selama itu tidak terpantau oleh pihak TNBTS?” imbuhnya.
Lebih lanjut, Khusnul bahkan mengkomparasikan pengawasan yang dilakukan TNBTS terhadap praktik-praktik pencurian kayu (illegal logging) yang sangat ketat, tetapi justu luput akan adanya praktik ilegal lainnya, seperti temuan lahan ganja tersebut.
“Kalau ada orang nyuri satu batang kayu saja, cepat ketahuan. Tapi kenapa ladang ganja sebesar itu bisa lolos?” sorotnya.
Sorot Aturan Ketat Bagi Wisatawan
Tak hanya itu, Khusnul juga menyoroti sejumlah aturan ketat TNBTS, seperti larangan menggunakan drone, kecuali dengan dikenakan biaya sewa mencapai Rp2 juta. Ia menilai hal tersebut sangat memberatkan para wisatawan.
Kemudian, kebijakan agar para pendaki Gunung Semeru wajib menggunakan jasa guide juga dipertanyakannya. “Netizen semakin curiga, ada apa sebenarnya dengan TNBTS?” kata Khusnul.
Perkembangan Kasus Temuan Ganja
Berdasarkan informasi, tanaman ganja yang ditemukan di kawasan TNBTS telah mencapai tinggi berkisar 1,5 sampai 2 meter dan siap untuk dipanen.
Untungnya, lanjut Khusnul, aparat hukum telah bertindak. Pengadilan Negeri (PN) Lumajang juga telah menetapkan enam tersangka, dengan empat di antaranya menjalani persidangan, satu orang meninggal dunia, serta satu orang lainnya yang disebut-sebut sebagai dalang aktivitas ilegal itu, Edi, masih berstatus buron.
“Edi menjanjikan imbalan Rp4 juta per kilogram ganja kepada para petani yang menanam. Ini bisnis besar,” ungkapnya.
Ia berharap aparat hukum dapat menindaklanjuti kecurigaan publik dan memastikan tidak ada ‘No Viral, No Justice’ dalam kasus ini. “Kita tidak ingin hukum hanya berjalan karena viral. Harus ada kejelasan dari pihak berwenang!” tandas Khusnul.