MAKLUMAT — Wacana pembentukan family office tengah menjadi sorotan baru dalam kebijakan ekonomi Indonesia. Pemerintah mulai menugaskan lembaga-lembaga terkait untuk mengkaji secara serius model kelembagaan ini. Bagi banyak orang, istilah family office mungkin masih terdengar asing, tetapi di dunia keuangan global, konsep ini telah lama menjadi instrumen penting untuk mengelola kekayaan lintas generasi.
Secara sederhana, family office adalah entitas privat yang diciptakan untuk mengelola kekayaan keluarga-keluarga superkaya—mereka yang termasuk kategori high-net-worth atau ultra-high-net-worth individuals. Layanannya terintegrasi, mulai dari manajemen investasi, perencanaan pajak, pembentukan struktur hukum seperti trust atau holding company, pengelolaan aset riil, hingga aktivitas filantropi dan perencanaan suksesi antar generasi. Inti dari pendekatannya adalah tata kelola (governance) yang baik, profesionalisme tinggi, dan strategi investasi jangka panjang yang berkelanjutan.

Di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, Swiss, Inggris, Singapura, Hong Kong, dan Uni Emirat Arab, family office bukan sekadar wadah untuk menjaga nilai kekayaan, melainkan juga menjadi sumber pembiayaan penting bagi proyek infrastruktur, riset teknologi, hingga investasi hijau. Singapura, misalnya, telah menjelma sebagai pusat family office di Asia berkat kebijakan fiskal yang menarik, kepastian hukum, serta ekosistem keuangan yang matang. Banyak keluarga kaya Asia memilih kota ini untuk mendirikan family office karena kemudahan akses ke pasar regional dan manajemen profesional yang terstandar global. Indonesia sejatinya memiliki modal sosial dan ekonomi yang cukup besar untuk mengembangkan konsep serupa. Konglomerasi domestik telah lama menjadi motor utama perekonomian nasional. Namun, dalam praktiknya, banyak kekayaan keluarga besar yang belum terkelola secara optimal karena persoalan tata kelola, konflik antargenerasi, dan keterbatasan tenaga profesional di bidang wealth management. Di sinilah family office menawarkan peluang baru.
Melalui struktur kelembagaan yang lebih profesional, keluarga besar di Indonesia dapat mengalihkan sebagian asetnya ke investasi jangka panjang yang produktif. Model seperti ini dapat mendorong pembiayaan infrastruktur, energi terbarukan, maupun riset dan pengembangan dalam negeri tanpa membebani anggaran negara. Lebih jauh lagi, family office berpotensi menciptakan ekosistem layanan keuangan baru yang melahirkan tenaga ahli di bidang investasi, pajak, dan hukum bisnis.
Namun, seperti banyak kebijakan baru lainnya, ide ini tidak lepas dari perdebatan publik. Beberapa ekonom dan pejabat keuangan, termasuk Purbaya Yudhi Sadewa dari Kementerian Keuangan, mengingatkan tentang potensi kebocoran pajak dan risiko penggunaan family office untuk arbitrase fiskal. Di sisi lain, tokoh-tokoh seperti Luhut Binsar Pandjaitan menilai bahwa skema ini justru dapat memperkuat investasi swasta dan menarik modal global ke Indonesia, asalkan ada kejelasan regulasi dan prinsip transparansi.
Kerangka Hukum
Perdebatan itu membawa satu pesan penting: Indonesia membutuhkan kerangka hukum dan tata kelola yang matang sebelum family office benar-benar diterapkan. Ada pula wacana mengadopsi sebagian elemen common law, seperti mekanisme trust, agar skema ini bisa berjalan dengan perlindungan hukum yang kuat. Namun langkah ini tentu harus disesuaikan dengan sistem hukum nasional yang berbasis civil law, agar tidak menimbulkan konflik norma dan yuridiksi.
Belajar dari berbagai negara, kunci keberhasilan family office bukan semata pada besarnya aset yang dikelola, melainkan pada kualitas tata kelolanya. Struktur hukum yang jelas, profesionalisme pengelola, serta transparansi pajak menjadi fondasi utama. Banyak Single Family Office besar di dunia yang mempekerjakan para ahli dari bank investasi internasional untuk memastikan keputusan investasi bebas dari bias keluarga. Selain itu, fokus pada impact investing—investasi yang mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan—menjadi tren baru yang memperkuat reputasi sosial keluarga.
Sebaliknya, banyak pula family office yang gagal karena ketiadaan sistem kontrol dan manajemen risiko. Konflik antar generasi, konsentrasi aset di satu sektor, hingga upaya memanfaatkan celah hukum untuk keuntungan sesaat sering kali menjadi penyebab runtuhnya lembaga semacam ini. Pelajaran dari kasus-kasus global menunjukkan bahwa tata kelola yang buruk dapat mengancam reputasi keluarga dan mengundang sanksi hukum.
Jika dijalankan dengan perencanaan matang, family office berpotensi memberikan dampak ekonomi yang luas. Ia bisa menjadi sumber pendanaan jangka panjang bagi proyek strategis nasional tanpa menambah beban APBN, membuka lapangan kerja baru di sektor keuangan, serta memperkuat transformasi ekonomi hijau melalui investasi berorientasi ESG (Environmental, Social, and Governance).
Risiko Family Office
Namun, risiko juga perlu diantisipasi. Insentif pajak yang berlebihan tanpa mekanisme kontrol bisa menimbulkan shortfall penerimaan negara. Biaya operasional yang tinggi dan kebutuhan sumber daya manusia profesional juga menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, keterkaitan erat antara keluarga besar dengan korporasi raksasa di sektor rentan seperti komoditas bisa menimbulkan risiko sistemik jika terjadi gejolak global.
Oleh karena itu, arah kebijakan harus dirancang hati-hati. Regulasi tidak boleh hanya berorientasi pada kemudahan investasi, tetapi juga memastikan kepatuhan pajak, transparansi, dan tanggung jawab sosial. Pemerintah bisa menerapkan model insentif berbasis kinerja—misalnya, insentif pajak hanya diberikan jika dana family office diinvestasikan ke proyek domestik yang berdampak nyata, seperti riset energi hijau atau infrastruktur publik.
Selain itu, pembangunan kapasitas manusia menjadi hal krusial. Universitas dan lembaga keuangan perlu membuka program pelatihan khusus untuk mencetak profesional wealth management Indonesia. Sementara dari sisi hukum, adaptasi unsur common law dapat diuji secara terbatas dan bertahap melalui proyek percontohan sebelum diterapkan secara luas.
Visi akhirnya cukup jelas: family office diharapkan dapat menjadi katalis kemandirian finansial bangsa. Jika dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan tata kelola yang kuat, ia tidak hanya akan melestarikan kekayaan segelintir elite, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi nasional yang inklusif dan berkeadilan.
Indonesia memiliki semua prasyarat untuk menuju ke sana—modal besar, semangat gotong royong, serta cita-cita menuju kemandirian ekonomi. Tantangannya kini tinggal satu: bagaimana menjembatani kekayaan dengan kebermanfaatan sosial, sehingga family office benar-benar menjadi instrumen untuk Indonesia yang maju dan berkeadilan.
*) Artikel ini sudah naik di Jakartamu.***