Wacana Pangkas Masa Jabatan Komisioner KPU Tuai Penolakan: Dinilai Tak Relevan dengan Arah Pemilu Baru

Wacana Pangkas Masa Jabatan Komisioner KPU Tuai Penolakan: Dinilai Tak Relevan dengan Arah Pemilu Baru

MAKLUMATWacana DPR memangkas masa jabatan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) menuai penolakan. Sejumlah pengamat menilai ide tersebut tidak sejalan dengan arah reformasi pemilu yang tengah digodok pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Salah satunya dari Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, Ray Rangkuti. Ia menilai pemangkasan masa jabatan tidak relevan dengan kebutuhan kelembagaan KPU ke depan. Menurutnya, MK telah memutuskan pemilu nasional dan lokal dipisahkan, sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.

“Kalau model pemilu berubah, maka model kelembagaan penyelenggaranya juga perlu disesuaikan. Jangan asal pangkas tanpa hitung konsekuensi sistemiknya,” tegas Ray dalam diskusi bertema “Membangun Kelembagaan KPU yang Ideal” yang digelar Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di Jakarta, Kamis (16/10).

Ray menjelaskan sejak 2004 KPU telah menjadi lembaga penyelenggara pemilu yang independen. Struktur kesekretariatannya pun tak lagi berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Namun, perubahan sistem pemilu ke model serentak nasional dan lokal menuntut peran KPU yang lebih dinamis, bukan sekadar administratif.

“Kalau semua tahapan dilakukan serentak, masa kerja efektif KPU sebenarnya hanya sekitar enam sampai tujuh bulan. Sisanya empat tahun mereka bisa difokuskan memperkuat sistem informasi, pelatihan, dan riset kepemiluan,” kata dia.

Meski demikian, muncul wacana dari kalangan parlemen untuk memangkas masa jabatan komisioner KPU menjadi tiga tahun, yakni satu tahun sebelum tahapan dimulai dan satu tahun sesudahnya. Wacana ini dinilai terburu-buru dan berisiko menurunkan kualitas kelembagaan KPU sebagai pilar demokrasi.

Baca Juga  Hergunadi-Basuki Daftar di Hari Terakhir, Lengkapi Tiga Paslon Pilbup Magetan

“Kelembagaan pemilu itu butuh konsistensi dan kesinambungan, bukan eksperimen masa jabatan,” tegas Ray.

Langkah DPR tersebut dikhawatirkan justru mengulang persoalan klasik, yakni politisasi lembaga penyelenggara pemilu dan lemahnya independensi.

Wacana pemangkasan masa jabatan KPU seolah menawarkan efisiensi, namun menyimpan bahaya institusional. Demokrasi tidak bisa diatur seperti kontrak kerja proyek. Ia butuh kontinuitas, pengetahuan kelembagaan, dan kepercayaan publik. Hal tersebut yang tidak bisa dibangun dalam tiga tahun.

*) Penulis: Rista Giordano

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *