Yang Kurang Hanya Keteladanan

Yang Kurang Hanya Keteladanan

MAKLUMAT — Sebuah peringatan serius baru saja berdentum dari puncak kekuasaan, tersuar dalam pidato Presiden di Hari Guru Nasional, Jumat 28 November 2025. Presiden Prabowo meminta para guru memasukkan pendidikan lingkungan dalam silabus.

Permintaan ini datang bertepatan dengan tumpahnya air mata akibat bencana Sumatera, di mana banjir bandang, tanah longsor, dan gemuruh krisis iklim kini menjadi tamu akrab yang mematikan. Peringatan Prabowo adalah pengakuan kegagalan dan sekaligus gugatan moral terhadap seluruh bangsa.

Kita sebagai sebuah peradaban bernama Indonesia, telah lama hidup dalam selimut kemunafikan ekologis. Peringatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengenai potensi hujan lebat telah menjadi lagu lama, namun kita terus terperangkap dalam siklus bencana. Korban terus berjatuhan. Bukan semata-mata karena alam yang kejam, tetapi karena kesadaran kolektif kita telah beku, terutama di bilik-bilik kekuasaan.

Kita menyaksikan bagaimana deforestasi merajalela seperti penyakit yang tak terobati. Tata ruang hanyalah tumpukan kertas izin yang berkompromi dengan kehancuran. Bencana yang terjadi hari ini, Tuan dan Puan, bukan lagi sekadar gejala alam. Ia adalah Laporan Akhir yang mencatat setiap pengkhianatan manusia terhadap bumi yang dipijaknya.

Ketika air bah surut, gelondongan kayu menjadi saksi bisu kealpaan pengawasan. Pemerintah memang bertindak dengan menurunkan Satgas dan tim gabungan, tetapi bukankah ini adalah tindakan yang terlalu terlambat?

Baca Juga  Mendikdasmen Apresiasi Perguruan Tamansiswa sebagai Mitra Peningkatan Kualitas Guru

Gurunya Ada di Mana?

Presiden berbicara tentang hutan dan sungai harus masuk dalam silabus. Namun, jika tugas mulia ini hanya diserahkan kepada bilik kelas dan selembar kurikulum, kita hanya akan membiarkan sekolah menjadi benteng terakhir yang rapuh. Peradaban di luarnya akan terus melaju dalam kebutaan moral.

Di sinilah, bangsa ini harus kembali menghayati warisan agung empu pendidikan, Ki Hajar Dewantara, “Semua orang adalah guru.” Visi pendidikan Ki Hajar adalah sebuah ekosistem moral, yang bertumpu pada tritunggal filosofis, salah satunya adalah Ing Ngarsa Sung Tuladha—di depan memberi teladan.

Konsep yang mudah diucapkan tapi susah dilakukan yakni Guru “Digugu dan Ditiru”. Sekolah-sekolah kita sudah mendoktrin tentang kelestarian lingkungan. Tapi pendidikan lingkungan tidak akan pernah berhasil jika hanya sampai pada tulisan di atas kertas. Pendidikan lingkungan harus hidup dalam keteladanan yang otentik di dalam masyarakat Indonesia.

Kita saat ini disuguhkan komitmen nasional yang luar biasa dalam tahap Tanggap Darurat Bencana Sumatera. Pesawat angkut diterjunkan, puluhan helikopter berjibaku, kapal rumah sakit didirikan, dan koneksi cepat dipasang. Presiden menginstruksikan situasi ini sebagai prioritas nasional, dengan dana dan logistik all out alias total.

Barang kali jika Ki Hajar Dewantara masih hidup juga bertanya: Apakah komitmen pemerintah sama—dengan dana yang sama totalnya—ketika yang dibutuhkan dalam melestarikan lingkungan hanyalah pencegahan?

Baca Juga  GreenFaith Indonesia dan GPIB Teken MoU, Satukan Iman untuk Bumi

Krisis Etika “Digugu dan Ditiru”

Masalah utama kita, sesungguhnya, bukanlah kurangnya jam pelajaran di sekolah,  bukan pula materi ajar tentang lingkungan. Kegagalan kita adalah kurangnya etika “Digugu dan Ditiru” dari para pemimpin dan orang dewasa yang memegang palu kekuasaan. Bagaimana anak bisa “menggugu” (percaya), lantas “meniru” (meneladani) pesan-pesan lingkungan, jika:

  • Orang dewasa di luar kelas—yang memegang palu kekuasaan—justru menandatangani izin pembabatan pohon yang mematikan hutan?

  • Pemerintah, sebagai guru terbesar di ruang publik, menjadikan sungai sebagai saluran limbah industri dan rumah tangga?

Krisis ekologis yang terjadi di Sumatera membuktikan bahwa bangsa ini tidak kekurangan pengetahuan teknis.  Yang hilang dari bangsa ini adalah budaya kewaspadaan dan yang paling fatal, keteladanan yang konsisten. Anak-anak boleh kita ajari menanam. Tetapi orang dewasa harus berhenti menebang. Murid-murid kita minta menjaga sungai. Tetapi pemerintah harus berhenti menjadikannya saluran limbah.

Pendidikan lingkungan akan berhasil jika Negara dan Masyarakat menjadi Guru. Pejabat dan rakyatnya sama-sama bertanggung jawab dan memenuhi syarat moral “Digugu dan Ditiru”.

Presiden telah menyalakan lilin. Ia menyalakan setitik kesadaran di ruang yang gelap. Pertanyaannya, apakah cahaya lilin itu akan kita jaga, kita lindungi dari angin birokrasi yang mematikan, dan dari kebiasaan abai yang terlanjur kita anggap sebagai norma?

Dalam pemikiran Ki Hajar, pendidikan lingkungan bukan sekadar materi kurikulum. Ia adalah pembiasaan hidup, pembentukan karakter, dan tugas moral peradaban. Tugas yang menuntut agar setiap pengajar—baik guru di kelas maupun pengambil kebijakan di kantor—benar-benar patut digugu dan ditiru.

Baca Juga  Banjir Bali, Isyarat Alam Mulai Bosan

Semua orang adalah guru. Semua tempat adalah sekolah. Dan hari ini, alam Sumatera adalah penguji terbesar yang menuntut keteladanan sejati dari setiap warga bangsa.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *