22.3 C
Malang
Sabtu, Desember 28, 2024

Ekonom UM Surabaya Jelaskan Dampak Kenaikan PPN 12% Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Kenaikan pajak berpotensi memukul perekonomian dalam negeri, meski pemerintah menaikkan upah kerja rata-rata 6,5 persen.
KilasPetisi Tolak PPN 12% Membludak, Indef Minta Prabowo Terbitkan Perppu

Petisi Tolak PPN 12% Membludak, Indef Minta Prabowo Terbitkan Perppu

Kenaikan PPN menjadi 12% (Ilustrasi: Ubay/ IST)
Kenaikan PPN menjadi 12% (Ilustrasi: Ubay/ IST)

MAKLUMAT – Gelombang penolakan terhadap kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 mendatang, terus meningkat. Sejumlah pihak pun meminta Presiden RI Prabowo Subianto untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan kebijakan tersebut.

Salah satunya, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti.

Ia menyebut, saat ini segala keputusan bergantung pada bagaimana kemauan atau political will Prabowo sebagai pemimpin negara. Sebab, suara dan aspirasi rakyat menurutnya sudah sangat jelas menolak pemberlakuan tarif PPN 12 persen.

“Betul (bergantung Prabowo), intinya political will. Itu bisa (dengan menerbitkan Perppu),” ujar Esther kepada wartawan, Kamis (26/12/2024).

“(Masyarakat tidak siap dengan PPN 12 persen)Karena saat ini kita akui kondisi ekonomi sedang lesu dan kurang bergairah,” sambungnya.

Tunda Sampai Kondisi Ekonomi Masyarakat Stabil

Meski begitu, Esther mengaku sependapat dengan pemerintah untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen. Namun, ia meminta agar pemerintah menunda pemberlakuannya.

Sebab, menurut dia, ada kondisi tertentu yang harus terpenuhi ketika memberlakukan kebijakan tersebut.

Yang terpenting, kata Esther, pemerintah bisa menaikkan tarif PPN, asalkan kondisi ekonomi, utamanya daya beli masyarakat benar-benar sudah stabil. Sehingga, lanjutnya, kebijakan tersebut tidak akan berdampak mengurangi soliditas PDB (Produk Domestik Bruto).

“Peran presiden untuk memutuskan atau menunda kebijakan PPN ini, sangat memungkinkan,” sebutnya.

“Pertanyaannya, apakah itu mau dilakukan? Menurut saya kenaikan PPN ini bisa ditunda, sampai ekonomi kita benar-benar pulih,” imbuh Esther.

Berkaca dari Malaysia

Lebih lanjut, Esther mencontohkan pada pengalaman negara tetangga, Malaysia, ketika menerapkan kenaikan PPN yang kemudian memperburuk perekonomian mereka.

Maka, tak berselang lama, pemerintah Negeri Jiran itu langsung menurunkan kembali tarif PPN yang berlaku ke angka atau tarif yang semula.

“Setelah tahu dampaknya, volume ekspor turun, maka Malaysia melakukan evaluasi. Kemudian mereka turunkan kembali ke tarif (PPN) semula,” terang Esther.

Petisi Tolak PPN 12 Persen

Sebelumnya, muncul petisi online di laman change.org yang mengajak masyarakat untuk menolak kenaikan PPN menjadi 12 persen.

Per Kamis (26/12/2024) sekitar pukul 21.00 WIB, masyarakat yang menandatangani petisi tersebut semakin membludak, mencapai 195.329 tanda tangan alias hanya kurang sedikit saja untuk mencapai target 200.000 tanda tangan.

Padahal, petisi tersebut juga telah disampaikan secara resmi kepada Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) pada 19 Desember 2024 lalu.

Petisi yang mengangkat tagar #PajakMencekik dan #TolakKenaikanPPN itu, dalam deskripsi alasannya menyebut bahwa rencana menaikan kembali PPN merupakan kebijakan yang akan memperdalam kesulitan masyarakat.

Sebab, harga berbagai jenis barang kebutuhan, mulai sabun mandi hingga BBM juga akan turut naik. Sedangkan keadaan ekonomi masyarakat belum berada pada posisi yang baik dan stabil.

Naiknya PPN yang juga bakal membuat kenaikan harga barang, akan memengaruhi daya beli masyarakat, yang bahkan sudah merosot sejak Bulan Mei 2024. Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas.

Atas dasar itu, petisi tersebut meminta pemerintah membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam UU HPP.

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

Lihat Juga Tag :

Populer