MAKLUMAT – Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) dan Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melakukan kunjungan dialogis ke lokasi Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.
Dalam kunjungan tersebut, mereka menggali keterangan dari warga yang diduga menjadi korban dampak proyek tersebut.
Ketua Bidang Politik Sumber Daya Alam LHKP PP Muhammadiyah, Usman Hamid, mengungkapkan bahwa hasil temuan mereka mengindikasikan adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi secara sistematis dan masif.
“Setelah berbincang dengan beberapa warga yang terdampak, baik dari kalangan nelayan maupun petani, kami melihat adanya konsolidasi antara pengusaha dan aparat desa agar proyek ini berjalan sesuai kepentingan pemodal,” ujar Usman dalam keterangan pers, Kamis (30/1/2025).
Menurutnya, beberapa keterangan yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak hanya pengusaha yang terlibat dalam proyek ini, tetapi juga sejumlah perangkat desa dan lurah. Bahkan, salah satu korban disebut masih memiliki hubungan kekerabatan dengan lurah setempat.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Dampak dari proyek ini dinilai sangat luas. Nelayan kesulitan melaut, sementara petani tidak lagi dapat menggarap sawah akibat penutupan aliran sungai.
Situasi ini, menurut Usman, tidak hanya menghentikan aktivitas ekonomi masyarakat, tetapi juga berujung pada konflik sosial di antara warga.
“Keserakahan pengusaha selalu melahirkan banyak korban. Selain mematikan sumber mata pencaharian nelayan dan petani, situasi ini juga membuat warga terpecah-belah akibat politik adu domba,” kata Usman.
Ketua Divisi Advokasi MPM PP Muhammadiyah, Himawan, menyoroti persoalan aliran sungai yang diduga sengaja ditutup agar lahan pertanian tidak bisa lagi digarap.
Ia menduga hal ini dilakukan untuk memaksa petani menjual tanah mereka kepada pengembang.
“Jika lahan tak bisa digarap, warga terpaksa menjual dengan harga rendah. Temuan kami mengonfirmasi bahwa hal ini terjadi di wilayah terdampak proyek PIK 2,” jelas Himawan.
Ia juga menyebutkan bahwa tanah masyarakat dibeli dengan harga yang jauh di bawah nilai wajar.
“Masyarakat dipaksa menjual lahan dengan harga Rp50.000 per meter persegi. Ini sangat merugikan mereka,” ungkap Himawan.
Lebih jauh, Himawan menuding bahwa pemerintah desa, khususnya lurah, berperan aktif dalam membujuk warga agar menyetujui penjualan lahan dengan harga murah.
“Tindakan ini semakin menunjukkan bahwa proyek ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga menimbulkan persoalan sosial yang mendalam bagi warga setempat,” katanya.