22.3 C
Malang
Senin, Februari 3, 2025
OpiniMenyogok untuk Meraih Hak Dibolehkan: Sebuah Penjelasan

Menyogok untuk Meraih Hak Dibolehkan: Sebuah Penjelasan

MAKLUMAT — Pada tanggal 22 Januari 2025 yang lalu saya diundang oleh Baleg DPR untuk memberikan masukan atas rencana revisi UU 4/2009 tentang Minerba. Saya memberikan keterangan panjang lebar yang tidak akan saya ketengahkan di sini karena kurang relevan. Dalam sesi tanya-jawab, semua fraksi DPR mengajukan pertanyaan.

Ulil Abhsar Abdalla
Penulis : Ulil Abshar Abdalla*

Yang menarik adalah ini: karena saya mewakili PBNU, beberapa anggota DPR dari sejumlah fraksi menyatakan bahwa mereka sebetulnya memiliki latar belakang “gado-gado”, separoh NU dan separoh Muhammadiyah. Dalam sesi jawaban saya berseloroh: ternyata banyak teman-teman dewan yang beridentitas MUNU: Muhammadiyah-NU.

Ada salah seorang anggota dewan yang bertanya dengan “nakal”: bukankah pemberian konsesi pertambangan oleh pemerintah kepada ormas termasuk “sogokan” untuk membungkam suara-suara kritis mereka?

Pertanyaan ini menarik saya karena “menggelitik”. Dalam sesi jawaban, saya mengatakan kurang lebih begini: jika pemerintah menempuh kebijakan-kebijakan yang tepat dan menguntungkan rakyat, maka hal itu tidak bisa disebut sebagai “sogokan”, walaupun diniatkan sebagai cara untuk meraih dukungan rakyat. Pemerintah, dalam hal ini, telah menunaikan tugas-tugas konstitusionalnya.

Sebab tugas utama pemerintah memang menyelenggarakan kebijakan yang membawa maslahat, sebagaimana diktum dalam hukum Islam (fikih) yang terkenal: tasharruful imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bil mashlahah (kebijakan penguasa terhadap rakyat harus dikaitkan dengan kepentingan rakyat). Jika pemerintah mengambil kebijakan yang demikian itu maka ia tidak bisa disebut sebagai sogokan, karena itu adalah “moral obligation” atau kewajiban moral penguasa terhadap “subject”-nya.

Kalaupun ini disebut sebagai “sogokan”, maka ini adalah cara menyogok yang baik, mesti istilah “sogokan” tidak tepat dipakai di sini.

Di ujung penjelasan, saya sengaja menyisipkan keterangan tambahan yang saya ambil dari kitab-kitab fikih. Bagi yang akrab dengan kajian fikih atau hukum Islam sebagaimana tertuang dalam apa yang disebut dengan literatur klasik Kitab Kuning, keterangan saya ini tidak akan terasa aneh.

Di dalam kitab-kitab fikih kita jumpai penjelasan berikut ini: bahwa menyogok untuk meraih hak kita yang direbut pihak lain secara zalim dan tidak “fair”, tidak diharamkan. Dalam versi teks Arabnya: al-risywatu lithalab al-Haqq ghairu muharramah (menyogok untuk meraih hak kita yang direbut orang lain, tidak haram). Hanya saja yang menerima sogokan tetap berdosa karena menerima sogokan itu. Dalam teks Arabnya: al-dzanbu ‘ala al-murtasyi la ‘ala al-rasyi.

Bagaimana contoh sederhana menyogok yang demikian itu? Contohnya seperti ini: jika mobil yang jelas-jelas milik kita dicuri oleh pihak lain, dan kita tidak bisa mengambil kembali mobil itu kecuali dengan menyogok yang bersangkutan, maka sogokan yang demikian itu dibolehkan. Sebab kita tidak bisa mendapatkan kembali hak kita kecuali dengan menyogok. Kita tidak berdosa, tetapi yang berdosa ialah yang menerima sogokan.

Saya berseloroh dengan mengatakan: ini adalah “sogokan hasanah”, sogokan yang baik karena dilakukan untuk merebut kembali hak kita. Saat saya melemparkan seloroh ini, seluruh yang hadir di ruang Baleg DPR itu tertawa. Saya menyampaikan seloroh ini sekadar untuk mencairkan suasana, tetapi sekaligus menyampaikan sebuah keterangan ulama yang ada dalam kitab-kitab fikih agar publik tahu.

Rupanya penjelasan saya yang sebetulnya bersifat sampingan ini lebih menarik media dan dijadikan santapan oleh para “content creator”. Meskipun sejumlah media dan content creator mengutip keterangan saya ini lepas dari konteks, saya tetap senang. Hari-hari ini semua pihak senang jika ada hal-hal yang menggelitik, apalagi content creator. Pada produsen konten ini akan suka cita sekali jika ada pernyataan-pernyataan yang kontroversial.

Walau tampak marah, publik sejujurnya juga senang pada kontroversi seperti ini. Mereka memiliki isu untuk dijadikan bahan percakapan. Saya sendiri senang ada hal “menggelitik” semacam ini yang menjadi bahan percakapan publik.

Terakhir, apa yang saya sampaikan ini adalah keterangan dalam hukum fikih klasik. Tentu saja menyogok tidak diperbolehkan menurut hukum negara modern, apapun alasannya. Walau hak anda direbut secara tidak sah oleh orang lain, anda tidak dibolehkan menyogok untuk merebut kembali hak anda itu. Sekian.

* Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

* Foto:Instagram @Ulil99

 

 

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

Ads Banner

Lihat Juga Tag :

Populer