MAKLUMAT – Muhammadiyah bukanlah partai politik, dan hingga detik ini Muhammadiyah tidak pernah mendirikan atau berdiri di belakang salah satu partai politik tertentu. Karenanya, Muhammadiyah pun tidak pernah berhasrat untuk membatasi atau memberi batasan pada warganya terkait aspirasi politiknya. Karena itu, posisi Muhammadiyah dihadapan partai politik maupun politisi dari manapun hakikatnya sama.
Tentunya klaim-klaim dari parpol atau politisi tertentu itu merupakan hal yang lumrah. Apapun alasannya, Muhammadiyah merupakan organisasi dengan anggota yang jumlahnya sangat besar, menjadi ‘bunga’ bagi kekuatan politik manapun. Suara warga Muhammadiyah tentu menjadi salah satu pundi-pundi emas bagi kelompok politik kepentingan. Dan Muhammadiyah pun telah membuka pintu lebar-lebar bagi parpol dan politisi dari manapun untuk mendekat ke warga Muhammadiyah, selama cara yang digunakan penuh dengan kesantunan dan keadaban.
Non partisan merupakan sikap resmi Muhammadiyah dalam bidang politik, meski di sisi lain Muhammadiyah juga tidak bersikap apolitis atau anti politik. Muhammadiyah selalu berperan aktif untuk mengupayakan terwujudnya kehidupan sosial-politik yang sehat dan berkualitas. Sikap politik Muhammadiyah memungkinkan Muhammadiyah untuk tidak terjebak dan tersandera oleh kepentingan praktis-pragmatis.
Uji publik terhadap calon presiden dan wakil presiden yang digelar Muhammadiyah beberapa waktu lalu merupakan satu sikap penting Muhammadiyah dalam mengekspresikan kepeduliannya terhadap perhelatan demokrasi politik di Indonesia ini. Namun demikian, pasca uji publik yang digelar, Muhammadiyah tetap secara elegan tidak mengambil sikap partisan pada salah satu pasangan capres-cawapres. Muhammadiyah membiarkan warga Muhammadiyah pada khususnya dan publik pada umumnya untuk menilai sendiri dan sekaligus menentukan sikap politik atau pilihannya sendiri.
Tentunya sikap elegan non partisan Muhammadiyah tersebut tidak hanya berlaku terhadap capres-cawapres, namun juga terhadap para calon legislator (baca : caleg). Apalagi Muhammadiyah juga menyadari bahwa kader Muhammadiyah dalam rana politik praktis tersebar ke banyak parpol. Kehadiran kader politik Muhammadiyah dibanyak kekuatan politik praktis merupakan berkah tersendiri.
Fenomena Diaspora
Di balik sikap non-partisannya, Muhammadiyah justru relatif lebih aktif dalam menjalankan peran-peran politiknya. Muhammadiyah selama ini bahkan memiliki andil besar dalam upaya merumuskan calon pemimpin masa depan serta berbagai kebijakan yang berpihak kepada kepentingan publik. Juga mendorong terwujudnya tata kehidupan politik yang demokratis, tidak sekedar formalistis, namun juga substantif.
Lain Muhammadiyah sebagai persyarikatan, lain pula kader-kadernya. Jika secara organisatoris Muhammadiyah bersifat independen dan nonpartisan, kader-kader Muhammadiyah tidak terhalangi — dan bahkan diberikan keleluasaan — untuk berkiprah di bidang politik praktis. Tidak mengherankan jika kemudian kader-kader politik Muhammadiyah pun mampu berdiaspora dengan berbagai elemen politik praktis. Kader-kader politik Muhammadiyah tidak berkerumun dalam satu parpol, namun justru berada di berbagai parpol.
Fenomena diaspora politik tersebut, mau tidak mau Muhammadiyah sangat perlu untuk memberikan arahan dan panduan bagi kader-kader politik berlatar belakang Muhammadiyah, Lahirnya “JipolMu” sebagai akronim dari “jihad politik Muhammadiyah” merupakan bagian dari kesadaran Muhammadiyah bahwa dakwah dalam rana politik merupakan keniscayaan yang tidak mungkin dihindari. Terlebih lagi dalam sejumlah kasus politik, Muhammadiyah merasa terzalimi oleh kebijakan-kebijakan politik yang bukan hanya tidak menguntungkan Muhammadiyah, bahkan juga melecehkan Muhammadiyah.
Sekaligus menyadarkan para caleg ‘Muhammadiyah’ jika sukses menggapai cita-citanya menjadi anggota legislatif, untuk tidak lupa dengan Muhammadiyah. Termasuk mengemban misi suci Muhammadiyah, diantaranya memasifkan gerakan anti-korupsi, memusnahkan budaya pungli, melawan tradisi upeti ilegal untuk kepentingan pribadi dan sebagainya.
Beberapa kali Muhammadiyah melakukan gerakan “jihad konstitusi” sebagai upaya untuk meluruskan kiblat bangsa dan sekaligus mengoreksi sejumlah kebijakan terhadap sejumlah undang-undang (UU) memberikan kesimpulan bahwa keberadaan kader Muhammadiyah di lembaga legislatif sangatlah penting.
Pemakaian kata “jihad” tentu tidak dalam pengertian yang sempit — sebagaimana yang dipahami secara sederhana oleh sejumlah orang awam. Dalam Muhammadiyah, jihad politik dipahami sebagai usaha yang sungguh-sungguh dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar melalui jalur politik/kekuasaan. Jihad politik dalam perspektif Yusuf Qardhawi adalah upaya membentuk kekuatan-kekuatan politik. Kekuatan politik tersebut tidak harus dalam bentuk partai politik, namun bisa pula dengan meletakkan kader-kader politiknya pada sejumlah partai politik.
Andai Muhammadiyah menjadi atau mendirikan parpol sendiri, tentu akan banyak tidak menguntungkan langkah dakwahnya. Dakwah itu harus mengalir seperti air, masuk ke semua celah yang bisa dimasukinya. Karena itu, menitipkan kader ke parpol yang ada merupakan keniscayaan yang ada. Karenanya pula, Muhammadiyah mendukung semua kader politiknya yang tersebar di banyak parpol, dengan pesan moralnya agar tetap berjuang demi kepentingan Muhammadiyah.
Diaspora kader politik Muhammadiyah merupakan keuntungan tersendiri dalam konteks politik nasional. Melalui model diaspora, pesan-pesan politik Muhammadiyah dapat disuarakan melalui lembaga-lembaga politik praktis secara lebih luas. Hal tersebut tentu sangat berbeda jika Muhammadiyah menjadi sandera parpol tertentu.
Mengukur Elektabilitas Diri
Muhammadiyah tidak membatasi, apalagi melarang, kader-kader politiknya untuk tampil di panggung politik atau mengajukan diri sebagai caleg. Muhammadiyah justru sangat mendukung, sekaligus menganjurkan warga Muhammadiyah sendiri untuk lebih memilih caleg-caleg yang dari latar belakang Muhammadiyah. Muhammadiyah juga tidak berlebihan jika melabuhkan harapan kepada kader-kadernya tersebut.
Bahwa di lapangan ada beberapa orang yang terkesan ‘over dosis’ dalam ber-JipolMu merupakan hal yang lumrah. Sikap yang berlebihan itu kemudian membuat kegaduhan di tingkat bawah/jamaah. Sejumlah jamaah Muhammadiyah memberikan respon balik — yang pada taraf tertentu justru tidak menguntungkan Muhammadiyah. Belum lagi dengan adanya satu-dua caleg yang merasa lebih Muhammadiyah daripada caleg yang lainnya, dan menuntut untuk lebih di “anak-emas”kan daripada caleg lainnya yang sama-sama berasal dari Muhammadiyah. Tentu kondisi seperti ini akan semakin membuat gaduh internal Persyarikatan.
Terkadang hal seperti ini harap dimaklumi, karena sebagian besar yang menggerakkan JipolMu di tingkat bawah adalah orang-orang awam dinamika politik, yang dimiliki hanya semangat berMuhammadiyah saja.
Berawal dari kegaduhan tersebut, maka sangat dibutuhkan kedewasaan jiwa dan keluasan hati para caleg Muhammadiyah dan juga pihak-pihak yang merasa menjadi bagian penting di JipolMu. Karena kegaduhan di internal persyarikatan pasti akan tidak menguntungkan dalam perjuangan atau jihad politik ini.
Bagi penggerak JilpolMu, perlu memposisikan sejajar dan sama pada caleg yang berlatar belakang Muhammadiyah. Jangan ada caleg yang didukung dan tidak didukung, caleg direstui dan tidak direstui. Sedang bagi calegnya sendiri, juga perlu bisa mengukur elektabilitas dirinya. Jika secara fakta elektabilitasnya rendah, seharusnya tidak memaksakan diri, sehingga justru merugikan Muhammadiyah. Jangan ada semboyan “tiji tibeh” atau “mati siji mati kabeh”.
Yang penting digarisbawahi, JipolMu dan calegMu harus bergandeng tangan untuk mengutamakan kepentingan Muhammadiyah dan menomorduakan kepentingan pribadi atau partai politik.
Terakhir, target JipolMu “satu dapil, (minimal) satu caleg Muhammadiyah” harus benar-benar diperjuangkan. Warga dan jamaah Muhammadiyah perlu diarahkan bukan untuk sekedar mencoblos caleg si A atau si B, tapi perlu dicerahkan untuk mencermati elektabilitas sang caleg itu sendiri. (*)
Abd Sidiq Notonegoro, Penulis adalah Anggota MPID PWM Jatim