
MAKLUMAT – Tokoh lintas agama, akademisi, dan aktivis lingkungan di Maluku menyerukan pentingnya peran agama dalam menghadapi dampak krisis iklim. Dalam diskusi yang berlangsung di Ambon pada Kamis (27/2/2025), mereka menegaskan bahwa pembangunan rendah karbon harus menjadi komitmen bersama seluruh elemen masyarakat, termasuk komunitas agama.
Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, Hening Parlan, mengatakan bahwa pembangunan rendah karbon tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau akademisi, melainkan juga kelompok lintas agama. “Tema green economy dan green environment harus menjadi bagian dari misi bersama. Apalagi dalam pertemuan COP28 di Dubai, pertama kali diperkenalkan pavilion faith-based yang menegaskan peran agama dalam keadilan iklim,” ujarnya.
Krisis iklim membawa dampak besar bagi masyarakat Maluku, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Nelayan kehilangan mata pencaharian akibat peningkatan suhu laut, sementara petani gagal panen karena banjir. Dr. Thaib Hunsow, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Maluku, mengajak tokoh agama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan isu lingkungan. “Di masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya, mari kita sampaikan tentang bahaya sampah dan kerusakan alam yang bisa berdampak buruk bagi kehidupan kita,” katanya.
Akademisi sosiologi agama dari IAIN Ambon, Dr. Abdul Manaf Tubaka, menilai perlunya literasi keagamaan yang lebih kuat terkait isu lingkungan. “Ada kesenjangan dalam pemahaman keagamaan soal lingkungan, padahal kebijakan pemerintah membuka ruang bagi partisipasi masyarakat,” ungkapnya.
Senada dengan itu, Pendeta John Victor Kainama dari Gereja Protestan Maluku (GPM) menyatakan bahwa tanggung jawab ekologis adalah bagian dari iman. “GPM berkomitmen bekerja sama dengan pemerintah, berbagai denominasi gereja, dan komunitas lintas agama untuk melestarikan lingkungan sebagai rumah bersama,” katanya. GPM juga telah memiliki pedoman advokasi lingkungan hidup yang diimplementasikan dalam berbagai program.
Rentan Terdampak Perubahan Iklim
Direktur Eksekutif Jala Ina (Jaga Laut Indonesia), M. Yusuf Sangadji, menyoroti kerentanan wilayah kepulauan Maluku terhadap krisis iklim. “Maluku memiliki 2.155 pulau kecil yang sangat rentan terdampak perubahan iklim. Hilangnya mata pencaharian dan meningkatnya kemiskinan sering dikaitkan dengan investasi yang tidak ramah lingkungan dan kurangnya partisipasi warga,” ujarnya. Ia menegaskan perlunya keterlibatan masyarakat dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam.
Diskusi ini merupakan bagian dari konsultasi mengenai kerja advokasi dalam keterlibatan keagamaan dan lintas iman untuk mengelola risiko lingkungan. Acara ini diselenggarakan oleh Eco Bhinneka Muhammadiyah bersama GreenFaith dan Oxford Policy Management Limited (OPML), serta didukung oleh IAIN Ambon dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Maluku.
Lebih dari 40 peserta dari organisasi berbasis keagamaan, akademisi, dan media menghadiri diskusi ini. Kegiatan tersebut menjadi langkah awal dalam membangun konsolidasi dan solidaritas lebih luas untuk mendorong penyelamatan lingkungan di Maluku.***