23.5 C
Malang
Jumat, November 22, 2024
OpiniMengapa PDIP dan PAN Menyebut Nama Muhadjir Effendy?

Mengapa PDIP dan PAN Menyebut Nama Muhadjir Effendy?

Dari kiri, Dito Ariotedjo, Ma’ruf Amin, dan Erick Thohir.

SUDAH gamblang tiga kandidat utama menuju Pilpres 2024. Mereka adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan. Namun, masih buram siapa yang akan mendampingi mereka sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres).

Masih tarik ulur, setiap koalisi terus menimang dan menimbang siapa kandidat paling ciamik menemani jagoan mereka. Di antara para kandidat pendamping, tampil nama beberapa menteri dari kabinet Presiden Joko Widodo. Mereka antara lain Erick Thohir, Sandiaga Uno, Mahfud MD, dan Muhadjir Effendy.

Selain itu, tentu muncul pula nama dari partai dan organisasi kemasyarakatan (ormas). Dari ormas, yang paling diperhatikan adalah dari dua basis ormas terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. Dan dari Muhammadiyah yang paling disorot adalah Muhadjir Effendy.

Ya, memang ada sejumlah tokoh Muhammadiyah yang menasional seperti Haedar Nashir, Abdul Mu’ti, dan Din Syamsuddin, serta tentu saja Muhadjir Effendy. Dari beberapa tokoh itu, Muhadjir Effendy yang lebih mencuat karena tidak lain lantaran jadi menteri dalam dua periode Presiden Jokowi.

Tentu saja, Muhammadiyah bukanlah partai politik dan secara tegas menyatakan tidak ikut-ikutan dalam politik praktis. Meski begitu, Muhammadiyah tetap menjalin komunikasi politik kebangsaan dengan berbagai elemen, termasuk para kandidat presiden dan partai mereka.

Muhammadiyah juga tetap memberikan restu kepada siapa pun kader terbaik mereka yang didekati atau diminati partai politik atau salah seorang kandidat presiden. Justru kader Muhammadiyah seperti Muhadjir Effendy dinilai bisa menjadi alternatif dari kebuntuan negosiasi bacawapres.

Suara-suara untuk menarik Muhadjir Effendy menuju bacawapres juga beberapa kali terdengar dalam sebulan terakhir. Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah pernah menyebutkan bahwa Muhadjir Effendy yang saat ini menjadi Menko PMK layak mendampingi Ganjar Pranowo.

Meski belakangan PDIP makin mengerucut pada lima kandidat bacawapres dan nama Muhadjir Effendy tidak lagi muncul, tapi pesona Muhadjir Effendy sebagai kader Muhammadiyah belum habis. Sebab, PAN melalui ketua umum-nya Zulkifli Hasan secara terbuka menyebut nama Muhadjir Effendy.

Zulhas, sapaan Zulkifli, menyatakan bahwa Muhadjir Effendy merupakan salah seorang bacawapres dari PAN selain Erick Thohir yang saat ini menjabat sebagai menteri BUMN. Komentar itu keluar dari mulut Zulhas sebagai wujud menyerap aspirasi dari arus bawah PAN.

***

Bagi PDIP, menyebut tokoh Muhammadiyah tidak asing. Sebab, Presiden pertama RI Soekarno merupakan kader Muhammadiyah yang secara resmi tercatat semenjak 1938, ditandai ketika Soekarno menjalani pembuangan dan tahanan rumah di Bengkulu. Semenjak 1 Agustus 1938 Soekarno menjadi anggota resmi ormas keagamaan.

Aktivitas Soekarno saat itu ikut duduk dalam komisi kurikulum sekolah Muhammadiyah. Dan pada 20 Agustus 1983 sempat diangkat menjadi anggota dewan pengajaran Muhammadiyah sehingga membuat organisasi ini menjadi lebih hidup serta mewarnai. Apalagi Fatmawati selaku istri Soekarno merupakan kader Muhammadiyah, tokoh pergerakan perempuan.

Kedekatan emosional antara Soekarno dan Muhammadiyah sudah terjalin sangat lama. Hubungan itu memiliki keterkaitan dengan penyebutan nama Muhadjir oleh ketua DPP PDIP Ahmad Basarah.

Romantisme sejarah menjadi pertimbangan, mengapa kemudian PDIP harus mengakomodir kader-kader terbaik Muhammadiyah. Selain pada pertimbangan suara warga Muhammadiyah, saya meyakini bahwa kedekatan sejarah secara emosional dan nilai-nilai perjuangan yang diterapkan oleh Soekarno sedikit memiliki kesamaan dengan Muhammadiyah.

PAN secara terang-terangan melontarkan nama Muhadjir dan cukup hanya dua nama yaitu dengan Erick Thohir. Menurut saya, yang dibutuhkan PAN ialah coat-tail effect ke partai dan itu sudah disebutkan oleh salah seorang deklarator PAN asal Surabaya Herman Rivai. Maka tujuan dari penyebutan tersebut agar partai ini tidak terlempar dari ambang batas parlementary threshold serta merangkul basis konstituen warga Muhammadiyah.

Ketokohan Muhadjir dianggap mampu meningkatkan elektoral partai karena didukung 60 juta warga Muhammadiyah. Para calon anggota legislatif dari PAN kebanyakan dari kader Muhammadiyah meskipun para kader tidak hanya di PAN. Karena itu, suka atau tidak suka PAN harus menyebut nama Muhadjir dari pada Erick Thohir yang basis pemilihnya masih belum jelas menurut saya.

Sementara itu, jika ini dikaitkan dengan pernyataan dari Barbara Geddes tentang model rekrutmen yang diterapkan oleh PDIP dan PAN, penyebutan Muhadjir oleh PDIP akan didasarkan pada civil service reform, pertimbangan kemampuan atau kompetensi dan loyalitas calon, maka Muhadjir pasti memiliki loyalitas, sudah teruji kemampuannya saat menjadi Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Menko PMK, dan sebelumnya menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Selain pada itu, jika PAN yang serius mencalonkan Muhadjir, maka kepentingannya adalah basis konstituen yang berasal dari jutaan warga Muhammadiyah. Jika basis suara dari ormas itu mampu direbut, maka PAN akan mengalami kenaikan popularitas dan elektabilitas karena PAN selalu identik dengan Muhammadiyah meskipun secara personal, kader-kader berada disetiap partai tidak hanya di PAN.

Perlu diketahui bersama, saat memunculkan figur sebagai seorang kandidat, partai akan melihat siapa yang bisa tampil sebagai calon yang mampu membawa coat-tail effect terhadap partai. Hal itu bisa dicermati bahwa siapapun bisa mencalonkan dan dicalonkan tanpa harus menjadi pengurus partai yang sangat lama, hal ini menjadi ujian tersendiri terhadap kelembagaan partai.

Oleh sebab itu, siapapun yang akan dinominasikan oleh partai, harus melalui pengamatan yang sangat matang, agar partai tidak hanya dijadikan sebagai kendaraan politik belaka, melainkan figur tersebut harus memberikan kontribusi dengan memikirkan keberlanjutan partai kedepan dan memperjuangkan nilai ideologisnya.

Partai merupakan instrumen dari demokrasi, jika kehadiran partai tidak mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas, akibatnya akan lahir pemimpin yang tidak memiliki integritas dan kredibilitas. Dalam konteks penentuan nama cawapres harusnya dilihat dari rekam jejak kesejarahan serta memiliki pengalaman pernah menjadi menteri, seperti Muhadjir Effendy. (*)

Diki Wahyudi, Penulis adalah Peneliti PSIF UMM dan Kandidat Master di Univesitas Airlangga Surabaya

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer