PERSOALAN pembatalan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap yang melibatkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henry Alfiandi menunjukkan ketidakberanian, ketidakberdayaan, dan hilangnya marwah lembaga anti rasuah tersebut.
Ketua Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr Trisno Raharjo SH MHum mengatakan, persoalan yang mendera KPK dan menyebabkan polemik dengan institusi TNI itu menunjukkan adanya masalah di dalam penegakan hukum terkait korupsi. Sangat disayangkan hal tersebut bisa terjadi.
“Menurut hemat kami, KPK tidak tegas untuk menyatakan bahwa KPK memiliki kewenangan dan KPK tetap dapat melaksanakan upaya-upaya penegakan hukum. Terkait dengan masalah koneksitas, bahwa di dalamnya perlu adanya koordinasi, ya itu tentu, tidak mungkin tidak ada koordinasi,” terangnya.
Trisno berpendapat, bahwa persoalan koneksitas dan koordinasi dalam polemik kasus korupsi Kepala Basarnas itu harus disikapi dengan baik, namun bukan untuk permohonan maaf, apalagi sampai kepada pembatalan status tersangka.
“Karena ada persoalan yang terkait dengan kewenangan hukum, hal ini tentu perlu untuk disikapi dengan baik, tapi bukan kemudian permohonan maaf yang muncul dan kemudian melakukan penyerahan, meskipun itu bisa dilihat sebagai upaya untuk meredakan ketegangan,”.
“Tapi di mata publik melihat bahwa ini adalah persoalan mendasar, bahwa KPK tidak siap untuk menangani perkara korupsi yang seharusnya mereka siap,” tegasnya.
Menurut Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu, Presiden Jokowi harus turun tangan dan menjadikan hal tersebut sebagai pertimbangan serius dan segera melakukan penggantian pimpinan KPK.
“Itu pimpinan KPK, para komisioner itu harus segera diganti, meskipun sudah ada putusan MK itu, kami menghormati putusan MK itu. Tetapi ada hal-hal yang memang Presiden Jokowi harus menjadikan ini pertimbangan yang serius dan pimpinan KPK harus diganti, tidak boleh berlama-lama. Meskipun waktunya cukup mepet, tetapi saya kira semakin cepat diganti, direformasi, maka akan lebih baik,” tandasnya.
Senada dengannya, Halili Hasan MA menyebut bahwa pembatalan status tersangka oleh KPK dalam kasus tersebut menunjukkan bahwa KPK tidak punya keberanian yang cukup dalam fokus dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Bahkan, dia mengutip pada UU TNI Pasal 65 ayat (2).
“Bahwa sebenarnya kalau berkaitan dengan peradilan militer itu hanya jika terlibat dalam kasus pidana militer, tetapi dalam kasus pidana umum maka dia harus tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum, maka dia harus diadili dalam persidangan di peradilan umum. Kira-kira seperti itu,” ujarnya menjelaskan.
Maka, lanjut Halili, sesungguhnya tidak ada persoalan sama sekali secara hukum bagi KPK untuk tidak bisa, tidak mau, tidak punya ‘will’ dalam rangka memproses korupsi yang dilakukan oleh prajurit militer.
“Bahwa dalam polemik ini yang sesungguhnya terjadi adalah ketidakberanian KPK untuk membuktikan dan menyatakan sikap, atau mengambil tindakan yang presisi dalam menangani korupsi yang dilakukan oleh tentara,” tegasnya.
Menurut Halili, kasus atau polemik KPK dan TNI tersebut bisa memberikan cerminan dan pelajaran serius perihal reformasi sistem peradilan militer. Dia berpendapat, bahwa ada kecenderungan pemerintah, terutama institusi TNI untuk enggan melakukan reformasi peradilan militer, yang pada akhirnya menciptakan polemik yang cukup serius secara kelembagaan selama ini.
“Dan itu yang kemudian menciptakan semacam polemik yang lebih serius secara kelembagaan selama ini. Sebab, case-nya bukan hanya soal ini, bukan hanya soal korupsi, tapi juga soal-soal yang lain. Misalnya soal kontraksi antara pidana militer dengan pidana umum yang selama ini juga dikeluhkan bukan hanya oleh para akademisi, tapi juga elemen masyarakat sipil, terutama mereka yang bergiat di isu-isu reformasi sistem keamanan,” ungkapnya.
Dia pun sepakat, bahwa Presiden Jokowi harus melihat lebih dalam dan turun tangan secara langsung dalam mengatasi persoalan seputar KPK dan TNI tersebut. Namun, dengan bernada pesimistis Halili menyebut bahwa respon Presiden terkait persoalan tersebut justru seolah menganggapnya hal yang remeh.
“Saya sependapat dengan Pak Trisno, bahwa memang harus Presiden yang mengambil alih persoalan ini. Hanya saja, respon Presiden untuk isu yang sangat penting ini ternyata hanya begitu-begitu saja. Presiden hanya mengatakan untuk akan meninjau pengadaan barang dan jasa, meninjau penempatan militer di jabatan-jabatan sipil, dan yang juga seakan-akan mengecilkan persoalan ini dengan hanya mengatakan bahwa persoalan tersebut hanya masalah koordinasi antar lembaga,” tandasnya.
Sementara itu, Dr Septa Candra SH MH menyebut, bahwa persepsi masyarakat terhadap KPK saat ini sudah tidak lagi seperti pada tujuan awal dibentuknya KPK dulu. “Tidak lagi fokus untuk pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi, tapi lebih pada lembaga yang hanya dijadikan sebagai sarana untuk memajukan kepentingan-kepentingan politik tertentu,” selorohnya.
Menurut pria yang juga merupakan Dewan Pakar MHH PP Muhammadiyah itu, sebenarnya bukanlah KPK-nya yang bermasalah, tetapi adalah orang-orang yang berada di dalam KPK. “KPK ini tidak ada masalah, tidak persoalan terhadap dengan KPK-nya, kita mendukung keberadaan KPK itu. Yang bermasalah itu adalah orang yang berada di dalam KPK itu,” jelasnya.
Jadi, lanjut Septa, kita kan tidak akan membakar lumbung padinya kalau di situ ada tikus, tetapi kan tikusnya yang harus kita cari.
Dia berharap, agar pemerintah bisa segera mengatasi polemik tersebut agar tidak berlarut-larut, sebab hal itu akan sangat berdampak pada KPK bagaimana KPK ke depan dan bagaimana tingkat kepercayaan publik dalam memandang KPK ke depan. “Kalau ini bisa dilakukan oleh pemerintah dalam waktu yang cepat, maka saya kira KPK akan bisa kembali kepada marwahnya lagi,” pungkas Septa.
Hal tersebut menyeruah dalam Diskusi Dialektika TvMu bertajuk ‘KPK-ku Sayang, KPK-ku Malang’, Sabtu (5/8/2023). Hadir sebagai narasumber lalu, yang menghadirkan Dr Trisno Raharjo SH MHum, Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr Septa Candra SH MH, dan Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan MA, sebagai narasumber. (*)
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto