Muhammadiyah dan WALHI Desak Pemerintah Hentikan Proyek Rempang Eco City

Muhammadiyah dan WALHI Desak Pemerintah Hentikan Proyek Rempang Eco City

MAKLUMAT — PP Muhammadiyah melalui Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) bersama Majelis Hukum dan HAM (MHH), meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi dan menghentikan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.

Desakan tersebut disampaikan usai tim gabungan LHKP dan MHH PP Muhammadiyah, beserta WALHI Riau melakukan kunjungan langsung dan kegiatan solidaritas kemanusiaan bersama masyarakat terdampak di Pulau Rempang.

Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah, David Efendi, menyorot soal ketimpangan kepastian hukum dalam proyek tersebut.

“Dalam Proyek Rempang Eco City tidak ada kepastian hukum bagi masyarakat tempatan yang ada di 16 kampung tua, khususnya di lima kampung tua yang kini menjadi prioritas Pemerintah,” ujar David, dalam keterangan yang diterima Maklumat.ID, Jumat (2/5/2025).

“Sebaliknya, Pemerintah sangat-sangat terlihat memberikan kepastian hukum kepada investor, dalam hal ini PT Makmur Elok Graha (PT MEG) yang dimiliki oleh Tomy Winata,” sambungnya.

Sementara itu, Ketua MHH PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, mengingatkan bahwa proyek tersebut secara formal tidak lagi tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). “Seharusnya tegas saja bahwa PSN Tersebut telah dicabut,” ujarnya.

Anggota Bidang Kajian Politik SDA LHKP PP Muhammadiyah, Parid Ridwanuddin, menyebut bahwa proyek Rempang Eco City berawal dari kunjungan Presiden ke-7 RI Joko Widodo ke Tiongkok, yang membuka peluang investasi dari Xinyi Group untuk membangun pabrik kaca di Pulau Rempang.

Baca Juga  MPM Gandeng PT PII Berdayakan Ekonomi Istri Nelayan

Pabrik tersebut memerlukan pasokan pasir kuarsa dari laut di Kepulauan Riau. Pemerintah Kota Batam, Badan Pengusahaan (BP) Batam, serta PT MEG, lalu menjalin kerja sama untuk mempercepat realisasi proyek tersebut.

“Inilah cikal bakal konflik di Pulau Rempang yang sampai saat ini tidak berakhir,” jelas Parid, yang juga aktivis WALHI.

Skema Baru Pengusiran: Transmigrasi Lokal

Dalam kunjungan lapangan tersebut, Tim PP Muhammadiyah dan WALHI Riau mengungkap pola baru percepatan proyek melalui program ‘transmigrasi lokal’ yang dijalankan Kementerian Transmigrasi (Kementrans), yang dianggap sebagai semacam cara terselubung untuk menggusur masyarakat tempatan.

Pemerintah mengklaim, sebanyak 80 warga telah mendaftar untuk berpindah ke Tanjung Banon. Namun, berdasarkan temuan Tim Muhammadiyah tersebut, warga yang pindah bukanlah masyarakat asli Rempang, melainkan perantau, ASN, ataupun para pendatang yang tidak memiliki tanah di kampung yang terdampak.

“Penggunaan istilah transmigrasi lokal merupakan politik bahasa pemerintah yang mengaburkan persoalan yang sebenarnya terjadi di Pulau Rempang, dimana penggusuran mengancam masyarakat tempatan kapan saja,” tegas David.

“Oleh karena itu, penggunaan istilah transmigrasi lokal seyogyanya dihentikan karena itu hanyalah narasi yang menyembunyikan kekerasan politik di dalamnya,” sambung pria yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu.

Terancamnya Sumber Pangan Lokal

Data BPS terkait komoditas Kecamatan Galang, Pulau Rempang.
Data BPS terkait komoditas Kecamatan Galang, Pulau Rempang.

Lebih lanjut, Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau, Ahlul Fadli, menilau bahwa proyek Rempang Eco City tidak hanya memicu konflik sosial dan penggusuran, tetapi juga mengancam keberlanjutan sumber-sumber daya dan pangan lokal.

Baca Juga  Diaspora Kader Politik Jadi Salah Satu Agenda Utama Muhammadiyah

Ia mengungkapkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batam tahun 2023, Kecamatan Galang yang mencakup Pulau Rempang merupakan sentra produksi pangan darat dan laut. Produksi buah-buahan seperti mangga (782 kuintal), durian (720 kuintal), dan pisang (780 kuintal), serta pangan laut dari 4.557 rumah tangga perikanan menyumbang total 13,7 juta kilogram hasil laut pada tahun 2024.

“Hal ini tentu bertentangan dengan jargon pemerintah Indonesia yang selalu jualan ketahanan pangan. Jika Pemerintah serius mau membangun ketahanan dan kedaulatan pangan lokal, hentikan Rempang Eco City dan berikan kepastian hukum kepada masyarakat untuk mengelola pangan mereka, baik di darat maupun di laut,” pungkas Ahlul.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *