Siswa Nakal Dikirim ke Barak Militer adalah Keputusasaan Terhadap Proses Pendidikan

Siswa Nakal Dikirim ke Barak Militer adalah Keputusasaan Terhadap Proses Pendidikan

MAKLUMAT — Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Kota Surabaya, Alfianur Rizal, merespon pernyataan Menteri HAM Natalius Pigai yang mendukung kebijakan Gubernur Jawa Barat untuk mengirim siswa ‘nakal’ yang kurang disiplin ke barak militer, agar dijalankan secara nasional.

Menurut Alfi—panggilan akrabnya—pendidikan adalah sebuah proses panjang yang tidak bisa mengesampingkan proses pendidikan itu sendiri, yakni untuk memberikan ruang bagi para siswa untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh standar pendidikan dengan mengacu kebijakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).

Ketua PDPM Surabaya, Alfianur Rizal. (Foto: IST)
Ketua PDPM Surabaya, Alfianur Rizal. (Foto: IST)

“Sederhananya adalah bahwa proses pembelajaran haruslah memiliki standar tertentu untuk mencapai tujuan pendidikan, yakni proses untuk siswa dari tidak tahu menjadi tahu, maka proses tersebut dibutuhkan sebuah ruang dan waktu yang tepat,” ujarnya, dalam keterangan yang diterima Maklumat.ID, Kamis (8/5/2025).

Tidak Representatif dan Cenderung Kontradiktif

Ia mempertanyakan, apakah dengan mengirim para siswa ‘nakal’ ke barak militer sebagai kebijakan nasional dapat menjadi ruang yang representatif?

“Apakah barak militer kemudian menjadi ruang yang representatif untuk mendapatkan sebuah pendidikan kedisiplinan, jika dalam konteks kurikulum pendidikan nasional tidak terdapat mekanisme pendidikan kemiliteran untuk sekolah formal pada umumnya?” sorotnya.

Meski begitu, Alfi menyebut bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dari tujuan memberikan pendidikan melalui barak militer bagi para siswa yang memiliki catatan khusus agar lebih disiplin. Namun, ia menilai hal tersebut cenderung kontradiktif dengan semangat pendidikan itu sendiri.

Baca Lainnya  Wakil Ketua Komisi II DPR RI Sebut Lebih Setuju Pilkada Langsung

“Sebagaimana kita ketahui, beberapa waktu lalu juga sedang ramai menjadi sebuah perdebatan soal UU TNI, yang menjadi sorotan banyak pihak adalah dikhawatirkan nantinya TNI aktif dapat masuk dalam ruang-ruang sipil, termasuk pendidikan salah satunya,” terangnya.

“Beberapa waktu lalu pun sempat viral adanya TNI yang masuk kampus, hal tersebut sontak mendapat banyak kecaman dari para netizen karena dianggap memberi celah hidupnya kembali pola-pola intimidasi dalam dunia pendidikan,” imbuh Alfi.

Ia berpendapat, kebijakan tersebut menjadi kontradiktif lantaran semangat untuk mendisiplinkan siswa, namun ketika TNI masuk kampus atau institusi pendidikan justru dianggap intimidatif.

“Dari sini dapat dipahami bahwa praktik mengirim siswa ke barak militer merupakan kegagalan pemahaman tentang sistem pendidikan,” selorohnya.

Peran Penting Masyarakat dan Sanksi Sosial

Pria yang juga menjabat Wakil Kepala (Waka) Bidang Kesiswaan SMA Muhammadiyah 10 Surabaya (SMAMX) itu menilai, ketika terjadi pelanggaran pada siswa, tidak serta merta kemudian barak militer menjadi solusi untuk mendisiplinkan siswa.

Ia menyebut, keluarga dan masyarakat menjadi elemen penting bagi pendidikan siswa, untuk memberikan kepekaan, empati, serta kedisiplinan bagi anak-anak. Alfi menilai, sanksi sosial akan lebih efektif untuk memberikan pendidikan bagi para siswa ‘nakal’ tersebut.

“Bukankah kita masih memiliki masyarakat untuk dapat memberikan pembelajaran kepada siswa? Bukankah siswa kembali ke masyarakat akan menjadi salah satu solusi yang mampu menciptakan rasa kepekaan pada siswa?” tegasnya.

Baca Lainnya  Kontroversi Dana Zakat untuk Makan Bergizi Gratis: Solusi atau Masalah Baru?

“Menumbuhkan jiwa empati dalam diri siswa yang kemudian diharapkan tumbuh jiwa pengabdian yang tinggi kepada masyarakat, sehingga sanksi sosial tentunya bisa menjadi salah satu solusi bagi siswa, agar sekalian memberikan pendidikan sosial kepada siswa, menumbuhkan rasa tanggung jawab, gotong royong, bahkan menanamkan jiwa disiplin,” tambah Alfi.

Lebih lanjut, Alfi menggarisbawahi agar jangan sampai semangat untuk mendidik kedisiplinan siswa justru menjadi jurang pemisah atau memunculkan gap antara siswa dan guru, antara siswa dan orang tua, antara siswa dan masyarakat.

“Arti kedisiplinan tidak harus kembali pada sistem militer, karena kedisiplinan dalam sistem militer memiliki tujuan yang berbeda dengan kedisiplinan dalam konteks pendidikan,” sebutnya.

“Jangan-jangan pemahaman para pendidik terhadap proses pendidikan itu sendiri mulai menjadi praktis, seolah-olah yang tidak disiplin dikembalikan kepada sistem militer, sehingga para pendidikan enggan ambil peran terhadap proses pendekatan kepada siswa yang memiliki catatan khusus, namun lebih senang untuk peduli terhadap siswa yang mudah diatur dengan cara mengajar menurut versi masing-masing pendidik?” tandas Alfi.

Keputusasaan terhadap Proses Pendidikan

Tak hanya itu, Alfi menandaskan bahwa kebijakan tersebut jika benar-benar diterapkan secara nasional, justru seolah menjadi sebuah kebuntuan atau keputusasaan terhadap semangat undang-undang, yakni ‘mencerdaskan kehidupan bangsa‘.

Makna ‘bangsa’ dalam potongan kalimat pembukaan undang-undang tersebut, menurut Alfi, memiliki arti yang luas, yakni siapapun yang berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan meyakini bahwa Pancasila sebagai dasar negaranya, maka dia dapat tergolong dari ‘bangsa’ itu sendiri.

Baca Lainnya  Eskalasi Meningkat Usai Ancaman Balasan Iran, AS dan Prancis Peringatkan Warganya

“Akan muncul sebuah kompleksitas kemudian, jangan-jangan pendidikan di wilayah tertentu sedang mengalami kesenjangan, karena pendidik mulai putus asa untuk melakukan pendekatan untuk mengubah siswa agar menjadi lebih baik, dan memiliki sebuah kesadaran yang tinggi tentang sebuah perubahan yang positif terhadap individu akan berbuah perubahan positif yang bersifat kolektif,” pungkasnya.

Menteri HAM Dukung Kebijakan Gubernur Jabar

Sekadar informasi, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjalankan uji coba penerapan kebijakan bagi siswa yang melanggar aturan sekolah atau sulit disiplinkan oleh sekolah, akan dikirim ke barak militer untuk mendapat pendidikan kedisiplinan semi militer.

Langkah tersebut kemudian didukung oleh Menteri HAM Natalius Pigai, yang meminta jika kebijakan tersebut berjalan dengan baik, agar dijalankan secara masif di seluruh Indonesia, tidak hanya di Jawa Barat.

“Kalau itu berlangsung uji coba pertama ini bagus, ya kami meminta Menteri Dikdasmen untuk mengeluarkan sebuah peraturan supaya ini bisa dijalankan secara masif di seluruh indonesia, kalau bagus,” ujarnya saat di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (6/5/2025).

“Karena ini bagus, idenya bagus, supaya apa, untuk ke depan, kita kan 10 tahun ke depan itu 2025-2035 itu kita harus go international,” sambung Pigai.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *