MAKLUMAT — Pendidikan bukan hanya soal ruang kelas, buku paket, dan ujian tengah semester. Pendidikan adalah cermin dari dunia nyata. Jika dunia nyata hari ini diwarnai oleh gim daring, maka pendidikan seharusnya tidak alergi terhadapnya.
Itulah mengapa ketika Dinas Pendidikan Kota Surabaya mengumumkan bahwa Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) akan masuk ke dalam kegiatan ekstrakurikuler resmi di sekolah-sekolah mulai tahun ajaran 2025/2026, saya tidak melihatnya sebagai bentuk kemunduran.

Justru sebaliknya: ini adalah langkah maju, walau penuh risiko dan tantangan. Yang lebih menarik, program ini tak hanya diperuntukkan bagi SMA atau SMK, tetapi sudah dirancang untuk siswa SD dan SMP. Kepala Dinas Pendidikan Surabaya, Yusuf Masruh, menegaskan bahwa gim seperti Mobile Legends dapat berdampak positif jika diarahkan secara tepat.
“Kami mencari manfaat terbaik untuk anak-anak. Permainan digital sudah menjadi idola dan kebiasaan mereka,” ujar seperti dimuat laman Bacakabar.id. Dalam pelaksanaannya, sekolah akan menggandeng pelatih dari komunitas e-sport setempat, agar kegiatan ini terstruktur dan bukan sekadar bermain tanpa arah.
Langkah ini bukan asal-asalan. Pemerintah kota akan menggandeng langsung pengembang MLBB, Moonton, lewat program MLBB Teacher Ambassador yang sudah melatih sekitar 300 guru untuk mendampingi siswa. Tujuannya jelas: mengarahkan gim sebagai media belajar yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga melatih keterampilan penting abad 21 seperti kerja sama, komunikasi, strategi, dan pemecahan masalah.
Tentu saja, hal ini menuai pro-kontra. Ada yang khawatir murid jadi kecanduan, belajar jadi terganggu, dan etika digital kian kabur. Tapi bukankah semua alat yang kuat memang membutuhkan pendampingan yang bijak? Pisau bisa jadi alat dapur atau alat kejahatan—semuanya tergantung siapa yang memegang dan bagaimana menggunakannya.
Karena Anak-anak Sudah Ada di Sana
Mari kita jujur. Anak-anak sudah bermain Mobile Legends sejak lama. Di kafe, di gang-gang, bahkan di kelas. Mereka tidak butuh persetujuan sekolah untuk membuat tim, ikut turnamen lokal, atau live streaming di TikTok. Mereka sudah di sana.
Masalahnya: apakah sekolah akan terus menutup mata, atau mulai membuka ruang agar keterlibatan itu menjadi lebih bermakna?
Dengan 51 juta pengguna aktif bulanan di Indonesia dan lebih dari 100 juta unduhan, Mobile Legends bukan sekadar gim. Ia adalah ekosistem. Ia adalah budaya digital yang berkembang. Ia adalah pasar. Bahkan, Indonesia menyumbang hampir 30 persen dari total pengguna global—angka yang tidak bisa dianggap kecil.
Kalau pendidikan ingin tetap relevan, maka ia harus hadir di tempat di mana murid berada. Menolak MLBB masuk ke sekolah sama seperti menolak pelajaran komputer di tahun 90-an. Teknologi akan terus berjalan, dengan atau tanpa sekolah.
Dari Main Game ke Industri Game
Yang menarik dari program ini bukan hanya soal bermain, tapi juga mengenalkan murid pada industri gim—sebuah sektor yang semakin terbuka dan menjanjikan di era ekonomi digital. Dari desain karakter, pengembangan AI, UI/UX, hingga e-sport management—semua itu adalah jalur karier yang sah dan nyata.
Lihat saja figur seperti Haji Putra 969, sosok viral karena donasinya di live streaming MLBB yang mencapai ratusan juta rupiah. Di balik sensasi itu, ada fakta bahwa ia adalah bagian dari ekosistem ekonomi digital yang berkembang pesat—dari bisnis transportasi tambang hingga tim balap motor. Dunia gim bukan lagi dunia pelarian, tapi panggung aktualisasi.
Jika sekolah mampu memfasilitasi arah ini dengan baik, bukan mustahil ekstrakurikuler MLBB akan melahirkan bukan hanya atlet e-sport, tapi juga desainer, pengembang, pemimpin komunitas, hingga wirausaha digital.
Apa yang Sebenarnya Kita Takutkan?
Tentu saja, saya paham kekhawatiran sebagian orang tua dan guru. Ketagihan layar, nilai anjlok, kurang tidur, kehilangan interaksi sosial. Tapi mari kita ukur itu dengan cara yang lebih adil. Ketagihan gim bukan soal gim semata, tapi soal pendampingan, literasi digital, dan keseimbangan hidup—tiga hal yang justru bisa diajarkan lewat ekstrakurikuler resmi.
Sekolah harus hadir sebagai fasilitator dan pelindung, bukan sebagai pemadam kebakaran yang selalu datang terlambat setelah rumah terbakar.
Kita tidak bisa berharap murid memahami batasan dan etika digital jika kita tidak pernah memberi mereka ruang aman untuk belajar itu. Ekstrakurikuler MLBB bisa jadi ruang tersebut—asal dikelola dengan benar.
Saatnya Menyusul Surabaya
Surabaya mungkin kota pertama yang akan meresmikan MLBB sebagai ekstrakurikuler. Tapi bukan berarti harus jadi satu-satunya. Kota-kota lain sebaiknya tidak buru-buru mencibir. Mereka sebaiknya menengok, mengkaji, lalu menyusul—dengan menyesuaikan konteks lokalnya masing-masing.
Karena pada akhirnya, kita tidak sedang membicarakan soal Mobile Legends. Kita sedang bicara soal cara mendidik generasi digital dalam bahasa yang mereka mengerti.
Kalau sekolah ingin tetap relevan, maka tak ada alasan menutup pintu untuk MLBB. Justru sudah saatnya membuka gerbang lebih lebar—agar anak-anak bisa belajar, bukan sekadar bermain.