Empat Fenomena Ini Jadi Tantangan Serius Peradaban Manusia

Empat Fenomena Ini Jadi Tantangan Serius Peradaban Manusia

MAKLUMAT Kompleksitas zaman dan derasnya arus informasi di era digital memunculkan empat fenomena yang patut menjadi perhatian serius. Fenomena ini bukan hanya menguji kecerdasan, tapi juga keadaban manusia di tengah kemajuan teknologi.

Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sekaligus Mendikdasmen RI, Abdul Mu’ti saat memberikan refleksi dalam Milad ke-94 Nasyiatul Aisyiyah bertema “Perempuan Tangguh, Cerahkan Peradaban” yang digelar Sabtu (31/5/2025).

Menurut Mu’ti, fenomena pertama adalah matinya kepakaran (The Death of Expertise) seperti yang dikemukakan Tom Nichols. Arus informasi yang masif, kata dia, justru membuat masyarakat kehilangan penghormatan terhadap para ahli.

“Internet membuat dunia seperti ada di genggaman. Kita bisa tahu banyak hal dalam sekejap. Tapi ini justru menurunkan otoritas para pakar karena semua orang merasa tahu,” ujar Abdul Mu’ti seperti dilansir laman Muhammadiyah.

Ia menambahkan, kemajuan kecerdasan buatan (AI) kini juga menggantikan banyak pekerjaan manusia, bahkan mulai menggerus otoritas keagamaan.

“Umat kini lebih percaya Google daripada bertanya langsung ke ulama atau tokoh agama,” katanya.

Fenomena kedua yang disoroti adalah matinya akal sehat (The Death of Mind) sebagaimana ditulis Franklin Foer. Mu’ti menilai, banyak orang kini tidak lagi berpikir kritis.

“Cukup baca judul berita, lalu langsung simpulkan. Mereka tidak peduli isi dan konteks, yang penting sesuai dengan apa yang mereka yakini,” jelasnya.

Baca Juga  Presiden Prabowo Tetapkan Cuti Bersama 2025; ASN Nikmati 10 Hari Libur

Fenomena ketiga adalah matinya keadaban digital. Berdasarkan data Microsoft pada 2020, Indonesia tercatat memiliki indeks keberadaban digital paling buruk di ASEAN.

“Warganet kita mudah sekali melontarkan hujatan. Kritik sering dibungkus dengan hinaan. Bahkan ada pejabat yang membuat kebijakan hanya karena tekanan netizen, padahal suara netizen belum tentu berdasar pengetahuan yang benar,” tegasnya.

Fenomena ini, lanjut Mu’ti, juga memunculkan penyakit baru: problem of popularity. Kebijakan atau kebenaran kerap ditentukan oleh siapa yang paling populer dan viral, bukan oleh nilai yang benar.

Terakhir, ia menyoroti fenomena matinya rasa malu. Menurutnya, banyak orang sekarang tidak merasa bersalah saat melakukan kesalahan, bahkan berbuat dosa pun tanpa rasa malu.

“Dalam ajaran Islam, malu adalah bagian dari iman. Kalau rasa malu sudah hilang, itu tanda kehancuran keadaban,” ucapnya.

Untuk itu, Mu’ti mendorong kader Nasyiatul Aisyiyah untuk mengambil peran penting membangun keadaban dan peradaban melalui basis ibadah dan ilmu pengetahuan.

Perempuan Tangguh, Cerahkan Peradaban

Pada bagian lain, Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah, Ariati Dina Puspitasari, menuturkan bahwa tema milad kali ini, Perempuan Tangguh, Cerahkan Peradaban, menjadi cermin dari dedikasi kader-kader NA di seluruh Indonesia.

“Ini refleksi dari kerja keras kader dalam berbagai lini; mulai dari dakwah, pendidikan, kesehatan, advokasi, hingga penguatan ekonomi di akar rumput,” ujar Ariati dalam sambutannya.

Baca Juga  Surat-surat yang Melintas Zaman: Upaya Wardiman Djojonegoro Menjaga Warisan Kartini

Menurut dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta itu, ketangguhan organisasi yang sudah hampir satu abad ini tak lepas dari semangat kader-kadernya yang adaptif, visioner, dan ikhlas dalam mengabdi.

“Perempuan tangguh itu tidak hanya kuat secara fisik, tapi juga kokoh spiritualitasnya, kritis dalam berpikir, serta mampu menjadi agen perubahan,” tegasnya.

Ia menambahkan, tantangan zaman harus dijawab dengan keberanian untuk terus belajar dan berinovasi. Organisasi juga harus mampu berdiri tegak di tengah berbagai ujian, sambil tetap berkomitmen melayani umat tanpa pamrih.

Sebagai bentuk apresiasi, Nasyiatul Aisyiyah memberikan penghargaan kepada kader-kader inspiratif yang telah menunjukkan kontribusi nyata di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, advokasi sosial, hingga penggerakan cabang dan ranting.

“Penghargaan ini bukan sekadar seremoni. Kami berharap ini menjadi penyemangat bagi seluruh kader untuk terus istiqamah dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar,” pungkasnya.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *